Pamer Demi Citra Diri?
Sejak dulu kita sudah kenal istilah pamer memperlihatkan kelebihan dengan tujuan menyombongkan diri. Waktu saya masih SD, ada satu teman yang datang ke sekolah dengan menyetir mobil. Iya, umur 12 tahun dan rumah sangat dekat dengan sekolah! Pamer? Menurut saya dan temanteman, sih, iya.
Lalu, saya juga punya kenalan yang setiap ngumpul bercerita bahwa dia baru beli berlian, emas, atau mobil, plus menyebutkan harganya dan embel-embel kalimat andalan, “Murah, lho!” Tujuannya apa lagi, kalau bukan pamer? Toh, dia tahu, dia sedang berbicara pada kumpulan orang yang tidak akan pernah bisa beli berlian dengan harga segitu.
Tapi, pamer di masa dulu tak lebih dari ruang lingkup teman main, teman kuliah, atau teman kantor yang sering kita jumpai. Sekarang? Orang pamernya di medsos. Artinya, dia menyombongkan diri ke ratusan, ribuan, atau jutaan pengikutnya di medsos. Rasanya lebih puas, kali, ya, bila bisa menyombongkan diri ke lebih banyak orang.
Nah, yang jadi masalah kita-kita ini, yang terpapar orang pamer. Ada yang pilih menghindar, ada yang bodo amat, tapi ada juga yang langsung merasa terintimidasi, minder, merasa diri bukanlah apa-apa, bukanlah siapasiapa. Wah.. bahaya ini! Banyak yang bilang bahwa orang yang senang pamer adalah mereka yang merasa bahwa orang lain tidak menganggap mereka penting. Karena itu mereka coba membuktikan diri bahwa mereka penting.
Mereka berupaya untuk meningkatkan citra diri, karena merasa ada yang salah dengan citra dirinya. Nah, kalau sudah tahu begini, masih mau minder melihat teman yang pamer? Sebenarnya lebih cocok kalau kita merasa kasihan. Pamer di dunia medsos ada istilahnya, yaitu flexing. Kalau ingin tahu seluk beluk flexing, Anda bisa menyimak ISU SPESIAL edisi ini. Tapi, jangan lalu semua teman yang berbagi kesenangan di medsos dibilang pamer, ya. Ini namanya julid.
Salam pede, Made Mardiani Kardha