Ketahanan energi global secara tradisional seperti misalnya fossil fuel, merupakan kesetimbangan antara tiga titik piramida fundamental, yaitu ketersediaan minyak mentah, ketersediaan kilang pengolahan minyak, serta ketersediaan cadangan minyak mentah (strategic petroleum reserve).
Segitiga ini juga berlaku untuk batubara, energi baru dan energi terbarukan. Untuk batubara, sejalan dengan keprihatinan dunia akan perubahan iklim dunia akibat polusi CO2 menjadi komoditas haram untuk industri.
Apalagi adanya denda yang dikaitkan dengan denda komersial yang akan menjadi beban bagi neraca perdagangan energi-negara yang masih menggunakan batubara sebagai sumber energi primer mereka. Energi non-konvensional, seperti shale oil yang masih keluarga dari fossil fuel, menjadi primadona baru karena bisa diproduksi secara ekonomis.
Namun, komoditas ini terkonsentrasi dalam jumlah besar di kawasan Amerika Utara saja. Energi terbarukan yang menjadi sasaran sumber energi di masa depan, saat ini masih dalam tahap menuju kedewasaan, baik dari sisi teknologi maupun keekonomian. Keseluruhan peta kesetimbangan energi bersandar pada satu pilar, yakni kondisi agregat perekonomian dunia. Kondisi merupakan agregat kesetimbangan supply dan demand seluruh komoditas produksi dunia.
Kondisi perang dagang AS dengan Cina saat ini akan mengerem produksi komoditas AS dan Cina dengan risiko berkurangnya kebutuhan akan energi. Goldman Sachs meramalkan bahwa perang dagang ini akan terus berlangsung sampai pemilihan Presiden AS tahun 2020. IMF memperkirakan perekonomian Cina yang diharapkan dapat tumbuh 6,2 persen di tahun 2019 akan susut menjadi 6,0 persen di tahun 2020.
Sementara itu, energi-negara berkembang akan turun menjadi 4,7 persen di tahun 2020. Dalam energi peramalan energi dunia sampai dengan tahun 2040, ada empat energi yang dikembangkan. Pertama, transisi yang berjalan dengan wajar (evolving transition). Kedua, pertumbuhan ekonomi yang pesat (more energy)
