“Anak-anakku, harta bendaku masih ada untuk belanja perjalananku, bawa aku, usung aku, angkat aku. Aku ingin menuruti Nabi kita ke Madinah, aku ingin sehidup semati dengan beliau.”
Dhamrah bin Jundub bersedih. Ia merasa amat kesepian. Selama apapun ditahan, ia tak bisa jika harus berjauhan dengan Rasulullah. Ia rindu menatap wajahnya, ia rindu mendengar suara kekasih Allah itu.
Dhamrah gelisah tinggal di Mekah, ia membayangkan betapa nikmatnya hidup bersama Rasulullah dan alangkah syahdunya shalat berjamaah di belakang Rasulullah di Masjid Nabawi.
Dhamrah kembali merenungi ayat-ayat Al-Qur’an tentang perintah hijrah. Hingga gelisahnya pun bertambah-tambah. Ia berpikir dalam. Ia memang sudah tua, namun ia tahu jalan dari Mekah menuju Madinah. Jangan-jangan dirinya tidak termasuk orang yang diberikan keringanan oleh Allah, sehingga tidak berhak atas pemaafan dari- Nya.
Dhamrah berpikir berulang-ulang, apakah ia harus menyusul hijrah ataukah tetap tinggal di Makkah?
Dhamrah mengangkat tangannya, “Allaahumma, Ya Tuhanku, Engkau telah memberi uzur kepadaku, aku boleh tinggal di sini, tetapi aku tidak tahan, aku mesti pergi.”
Dhamrah bin Ibnul Ishaq atau Dhamrah bin Jundub, adalah seorang lelaki dari Bani Laits yang telah tua dan buta matanya, tetapi kaya raya. Ia memeluk Islam sejak awal didakwahkan di Mekah. Ketika turun perintah hijrah ke Madinah, ia dengan segera menyambutnya.
Majalah Rumah Zakat di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.