Berada di jalur cincin api, Indonesia kerap kali dilanda bencana. Tak hanya gempa dan letusan gunung api, kita juga akrab dengan banjir bandang, dan kebakaran hutan. Ratusan ribu orang terkena dampak, tak hanya harta benda yang hilang, nyawa pun banyak yang melayang. Kita bersyukur, di balik musibah yang datang silih berganti, kita menyaksikan begitu banyak orang baik hati dan peduli. Banyak yang tergerak untuk membantu, baik berupa tenaga ataupun material.
Terlebih ketika pemberitaan di media massa begitu intens. Ditambah, spanduk dan iklan berbagai lembaga kemanusiaan yang menghiasi berbagai sudut kota. Namun, fenomena yang terjadi setelah bencana biasanya agak berbeda dengan saat-saat bencana baru terjadi. Saat media massa sudah tidak lagi menyiarkan secara intensif tentang bencana, bantuan atau perhatian kepada para korban mulai berkurang. Terlebih apabila sudah disiarkan bahwa pengungsi sudah kembali ke daerah atau rumah masing-masing.
Namun, kerap kita masih dapat melihat ataupun mendengar informasi bahwa pengumpulan bantuan kepada korban bencana alam terus dilakukan. Ini memang wajar terjadi, dan seharusnya terus dilakukan karena pasca bencana bukan berarti penanganan atau bantuan kepada korban bencana dihentikan. Pemberian bantuan kepada korban bencana alam secara berkelanjutan bukan bermaksud membuat korban menjadi tergantung kepada pihak lain, namun bencana memiliki tahapan beserta karakteristiknya, sehingga korban bencana tidak dapat dilepas begitu saja.
Terdapat tahapan dalam penanganan pascabencana. Pemulihan (recovery) kehidupan masyarakat terdampak sesudah bencana terdiri atas tiga tahapan yang saling terkait. Ketiga tahap tersebut bersifat berjenjang berdasarkan skala prioritas. Pertama, tahap tanggap-darurat atau penyelamatan (salvation); kedua, tahap perbaikan (rehabilitation); ketiga, tahap pembangunan-kembali (reconstruction).
