Tampilkan di aplikasi

Padi & jagung: Begini cara meningkatkan kesejahteraan petani!

Majalah Agrina - Edisi 298
16 April 2019

Majalah Agrina - Edisi 298

Komoditas tanaman pangan seperti jagung, padi, dan kedelai yang mendapat subsidi layaknya di Amerika akan mengalahkan komoditas tanaman pangan nonsubsidi. / Foto : Windi Listianingsih

Agrina
Pembangunan pertanian masih disibukkan dengan kata mewujudkan swasembada pangan dan menciptakan kesejahteraan petani. menurut Anthony Budiawan, managing Director Politic Economy and Policy Studies, pembangunan pertanian tidak lepas dari politik ekonomi pertanian yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani. “Tujuan pembangunan pertanian bukan untuk swasembada. Jika petani sejahtera, swasembada pasti tercapai,” tegasnya.

Daya Beli Petani. Anthony mengatakan, mengukur kesejahteraan petani cukup mudah. minimal, bandingkan saja petani dengan buruh. “Artinya, pendapatan petani tidak boleh kurang dari UMP (Upah minimum Provinsi). Pendapatan kurang dari UMP, pasti jauh dari sejahtera,” ujarnya pada seminar kebangsaan “Paradigma Kesejahteraan Dalam Pembangunan Pertanian” di Jakarta beberapa waktu lalu.

Lebih jauh Anthony menjelaskan, menilik produktivitas padi dari 2004-2018 disandingkan dengan inflasi, rata-rata peningkatan produktivitas padi hanya 0,09% per tahun sedangkan kenaikan inflasi mencapai 6,36% per tahun. Pendapatan riil netto petani padi juga turun dari Rp 1 juta pada 2004 menjadi hanya Rp 461 ribuan pada 2018.

Sementara, rerata peningkatan produktivitas jagung tidak mencukupi inflasi, hanya 3,31%. Pendapatan riil netto petani jagung dari Rp1 juta pada 2004 menjadi Rp 648 ribuan pada 2018. “Dengan asumsi harga pangan stabil, pendapatan riil netto turun. Ini harus ditutupi kenaikan harga sekitar 5% lebih setiap tahun. Itu biar purchasing power (daya beli)-nya setara. Belum membahas kesejahteraan,” ulasnya.

Meninjau karakteristik penawaran dan permintaan tanaman pangan, kata Anthony, permintaan relatif tetap meski ada sedikit fluktuasi. Sedangkan suplai bersifat musiman, ada masa tanam dan masa panen sehingga tidak pernah tercapai keseimbangan. “Saat masa tanam harga tinggi, panen harga turun. Kebijakan ideal dari kondisi demand-supply (permintaan penawaran) nggak tercapai,” tambahnya.
Majalah Agrina di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI