Kendati menurun, devisa sawit 2023 tersebut berkontribusi 11,7% terhadap total devisa ekspor nasional yang US$258,82 miliar. Khusus masa pandemi Covid, 2020-2021, tanpa devisa sawit sebesar US$22,7 miliar dan US$35,04, neraca perdagangan dipastikan negatif.
Hal tersebut diungkap Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAKPI) dalam acara “Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 dan Konferesi Pers” di Jakarta (27/2). Didahului dengan pemberian penghargaan kepada tokoh dan mantan Ketua Umum GAKI serta seremoni ulang tahun, Eddy dan Hadi Sugeng, Sekjen GAPKI membeberkan kinerja industri sawit 2023 dan prospek 2024.
China Terbesar Terkait penurunan ekspor, menurut Eddy, dipengaruhi kondisi pasar global dan ekonomi negara tujuan. Penurunan besar terjadi untuk tujuan Uni Eropa sebesar 11,6% dari 4,13 juta ton pada 2022 menjadi 3,70 juta ton pada 2023.
Sementara ekspor untuk tujuan Afrika naik sebesar 33% dari 3,183 juta ton menjadi 4,232 juta ton, India naik 8% dari 5,536 juta ton menjadi 5,966 juta ton dan Amerika Serikat naik 10% dari 2,276 ribu ton menjadi 2,512 ribu ton.
“China naik 23% dari 6,28 juta ton menjadi 7,736 juta ton, mendekati ekspor 2019 yang 8 juta ton. Hal ini berkat kunjungan Presiden Jokowi ke China dan ditindaklanjuti GAPKI pada akhir 2022. Saat ini China importir terbesar minyak sawit Indonesia,” ulas Komisaris Utama PT Mega Karya Nusa, perusahaan perkebunan di Kabupaten Lamandau, Kalteng ini.
Menepis anggapan sebagian orang yang mengatakan ekspor sawit masih banyak berbentuk bahan baku, ia menekankan sejak 2018 ekspor sawit bukan lagi didominasi CPO, melainkan dalam bentuk olahan. Pada 2022, kontribusi ekspor CPO tinggal 10,2%.
