Awal Desember 2018, umat Islam mengadakan perhelatan besar, reuni 212, mengenang dan merawat kesadaran kebersamaan umat tatkala mendapatkan momentum bersatu menyikapi terjadinya penistaan Al-Qur’an. Muslimun dari seluruh penjuru, mengikuti panggilan hatinya menuju ke satu titik, Monas, Jakarta. Jutaan yang datang, lebih banyak lagi yang tidak datang secara phisik, tetapi pikiran, hati, doa dan air matanya menyertai mereka yang datang.
Reuni kali ini, mendapatkan tambahan spirit karena beberapa waktu sebelumnya, terjadi pembakaran bendera tauhid oleh oknum anggota sebuah badan otonom dari sebuah ormas Islam besar. Tambahan spirit itu dikarenakan adanya kesan pembelaan dari para tokoh terhadap pelaku, mencoba mencari-cari alasan bahwa bendera itu adalah bendera organisasi massa yang telah dilarang, dll.
Meskipun pada akhirnya pelaku diproses hukum dan organisasi induk menyesalkan kejadian itu, akan tetapi aroma mencari-cari alasan, tidak tulus mengakui kesalahan dan melindungi pelaku, telah menjadikan umat kesal dan menyimpan kemarahan. Ketidakadilan itu menjadi tambahan spirit umat sehingga menjadikan reuni kali ini semakin membesar.
Momentum pertemuan besar umat Islam tersebut, secara halus juga menjadi sarana untuk mengkonsolidasikan umat di tahun politik menjelang perhelatan pilpres tahun depan. Dikatakan sebagai sarana halus, sebab meskipun salah satu kontestan pilpres hadir dalam aksi massa tersebut, akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menyampaikan visi dan misi-nya sebagai calon, juga tidak diperkenankan menawarkan dirinya sebagai capres.
Begitu juga panitia aksi dari gelaran kolosal itu bukan dari parpol peserta pemilu, mereka yang datang juga tidak mengatasnamakan anggota parpol tertentu (meskipun mungkin dia kader parpol tertentu), juga tak ada atribut parpol di acara itu. Unik!
