Ketika Rasulullah melewati keluarga Yasir yang tengah merasakan siksaan dari orang-orang kafir, beliau mengarahkan pandangannya ke langit seraya berseru, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat bagi kalian adalah jannah.” begitu mendengar janji dari Rasulullah, Sumayyah mengulangulang kalimat, ”Aku bersaksi bahwa anda adalah Rasulullah dan bahwa yang anda janjikan adalah benar.” gitulah, demi mempertahankan akidahnya beliau rela dipanggang di padang pasir yang demikian panas, ditindih dengan batu yang besar, disiksa dengan bermacam cara, namun tak terdengar rintihan sedikitpun dari mulut beliau selain kata-kata,”Ahad..ahad..” hingga akhirnya beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam.
Pada kesempatan yang lain, ketika NISWAH hidayah dikaruniakan Allah buat Ummu Syarik Al Qursyiyah, sebagaimana dialami oleh kaum muslimin yang lain ketika awal-awal datangnya Islam, beliau disiksa dengan siksaan yang berat. Beliau diseret di tengah padang pasir, dan hanya dibekali dengan roti dan madu, sedang setitik airpun tak diberikan kepada beliau hingga tiga hari.
Hampir-hampir saja hilang penglihatan dan pendengaran beliau. Hari ketiga mereka datang dan berkata,”Engkau tinggalkan ajaran yang telah engkau anut (Islam)!” namun beliau hanya mengacungkan jarinya ke langit sebagai tanda mentauhidkan Allah. Contoh ketegaran generasi pertama semacam ini sangat banyak.
Kekuatan apakah yang menjadikan mereka sanggup bertahan dengan siksaan-siksaan yang tiada tara tersebut? pertimbangan manakah yang mereka gunakan hingga mereka rela mengorbankan harta, tenaga bahkan nyawa sekalipun? Tidak ada jawaban lain kecuali karena keimanan mereka terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad saw, keyakinan bahwa Islam menjamin kebahagiaan bagi mereka bukan sekedar di dunia yang fana, namun juga di akherat yang abadi. Mereka betul-betul merasakan betapa indahnya hidup dalam Islam, dan betapa agungnya rahmat Islam bagi mereka dan bahkan bagi alam semesta.
