Tampilkan di aplikasi

Buku Bitread hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Jejak Peradaban Islam Nusantara

Pergulatan Antara Resistensi dan Adaptasi di Era Kolonial

1 Pembaca
Rp 92.000 50%
Rp 46.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 138.000 13%
Rp 39.867 /orang
Rp 119.600

5 Pembaca
Rp 230.000 20%
Rp 36.800 /orang
Rp 184.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sebagai sebuah diskursus keilmuan yang relatif baru, Islam Nusantara menuai respon yang beragam. Banyak yang menyepakati, namun tak sedikit pula yang menghakimi. Sampai saat ini istilah itu masih menuai respon yang debatable. Di dalam buku ini, diskursus Islam Nusantara diusaikan dengan multidisipliner, antara lain perspektif historis, filosofis, sosiologis dan tentu saja epistimologis. Semua perspektif tersebut kemudian diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang menghasilkan perspektif baru, tentang Islam Nusantara. Dalam riset ini, Islam Nusantara tak hanya dipandang sebagai ekspresi keislaman khas orang-orang Nusantara, namun juga sebagai keniscayaan sosio-kultural yang berimplikasi pada sebuah tesis bahwa menjadi Islam yang baik tak lantas menjadi "orang asing". Lebih tepatnya, berislam ala Nusantara justru mewujudkan kosmopolitanisme dan universitas Islam yang berpadu dengan inklusiftas Nusantara. Naskah akademik ini, lebih menyoroti bagaimana bangunan peradaban Islam Nusantara dikontruksikan dari hasil dialektika, persentuhan dan pergumulan dengan gerakan imperealisme-kolonialisme. Bagaimana orang-orang Islam ketika itu, menjadikan nilai-nilai Islam sebagai inspirasi ideologi dan infrastruktur untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam di satu sisi, sekaligus Islam dijadikan sebagai piranti resistensi melawan kolonialisme.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M.Ag / Winarto Eka Wahyudi, M.Pd.I

Penerbit: Bitread
ISBN: 9786232244290
Terbit: Oktober 2020 , 275 Halaman










Ikhtisar

Sebagai sebuah diskursus keilmuan yang relatif baru, Islam Nusantara menuai respon yang beragam. Banyak yang menyepakati, namun tak sedikit pula yang menghakimi. Sampai saat ini istilah itu masih menuai respon yang debatable. Di dalam buku ini, diskursus Islam Nusantara diusaikan dengan multidisipliner, antara lain perspektif historis, filosofis, sosiologis dan tentu saja epistimologis. Semua perspektif tersebut kemudian diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang menghasilkan perspektif baru, tentang Islam Nusantara. Dalam riset ini, Islam Nusantara tak hanya dipandang sebagai ekspresi keislaman khas orang-orang Nusantara, namun juga sebagai keniscayaan sosio-kultural yang berimplikasi pada sebuah tesis bahwa menjadi Islam yang baik tak lantas menjadi "orang asing". Lebih tepatnya, berislam ala Nusantara justru mewujudkan kosmopolitanisme dan universitas Islam yang berpadu dengan inklusiftas Nusantara. Naskah akademik ini, lebih menyoroti bagaimana bangunan peradaban Islam Nusantara dikontruksikan dari hasil dialektika, persentuhan dan pergumulan dengan gerakan imperealisme-kolonialisme. Bagaimana orang-orang Islam ketika itu, menjadikan nilai-nilai Islam sebagai inspirasi ideologi dan infrastruktur untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam di satu sisi, sekaligus Islam dijadikan sebagai piranti resistensi melawan kolonialisme.

Pendahuluan / Prolog

Sekapur sirih
Indonesia sampai saat ini masih menjadi negara yang mempunyai dua aset yang tak tertandingi, yaitu kekayaan alam dan kekayaan tradisinya yang diakui dunia internasional. Kini, dalam diskursus akademik, Indonesia juga berhasil merebut perhatian dunia dengan kian digalakkannya kajian mengenai Islam Nusantara. Sebagai sebuah obyek penelitian, Islam Nusantara merupakan kekayaan tersendiri bagi Indonesia yang merupakan negara mayoritas beragama Islam terbesar di dunia. Tentu, harapannya Indonesia akan menjadi mercusuar peradaban Islam dunia.

Kenapa Islam di Nusantara menjadi penting bagi percaturan ideologi-ideologi dunia? Tak lain karena Islam di Indonesia dikenal sebagai Islam yang mampu mengimplementasikan dengan sangat baik nilai-nilai toleransi, inklusifitas dan tidak kedap terhadap tradisi serta kebudayaan lokal. Bahkan, prestasi Indonesia sebagai negara terbesar ketiga di dunia dalam bidang pengembangan demokrasi, tak luput dari spirit keislaman yang mampu melakukan persenyawaan dengan nilai-nilai demokrasi. Tentu saja, realitas ini tak bisa mengenyampingkan peran serta ulama yang mampu melakukan tafsir keislaman yang elastis dan relevan terhadap karakter keindonesiaan, tanpa mendistorsi nilai-nilai substansial ajaran Islam itu sendiri.

Sebagai sebuah bangsa yang mampu mengintegrasikan nilainilai keislaman dengan spirit kebangsaan, maka Islam Nusantara mampu menjadi gerakan perdamaian yang mampu menjadi contoh sekaligus inisiator wajah Islam yang ramah dan rahmah. Usaha ini penting dilakukan, mengingat di Timur Tengah tak banyak yang bisa dilihat, kecuali kebrutalan dan kebengisan yang meruntuhkan nilainilai kemanusiaan. Ironisnya, konflik yang setiap hari seakan menjadi menu keseharian, dilakukan sesama saudaranya sendiri, sebangsa dan seiman (baca: Islam). Lalu, apa yang bisa diharapkan dari peradaban Timur Tengah jika demikian realitasnya? Tidak ada kecuali kebodohan yang dibumbui atribut-atribut agama. Maka, Islam Nusantara harus terus istikamah bersuara di kancah internasional. Mengkampanyekan nilai-nilai persaudaraan dan toleransi yang sejak lama dipraktikkan di bumi pertiwi.

Selain itu, aspek terpenting dalam kajian Islam Nusantara adalah usaha untuk melakukan ekskavasi arkeologi produk keilmuan, baik yang direalisasikan dalam bentuk literasi (kitab, syair, tembang) maupun dalam bentuk tradisi yang berdenyut di masyarakat. Karena dengan menengok kembali khazanah Islam Nusantara, kita akan memperoleh cerminan tentang peranan Islam dalam membangun peradaban di Indonesia.

Dalam penelitian ini, tidak hanya didekripsikan tentang tradisi Islam apa saja yang dilakukan oleh masyarakat, namun bagaimana tradisi itu pertama kali dilakukan serta hubungannya dengan kolonialisme. Memang, dalam kajian ini yang menjadi stressing adalah relasi tradisi Islam Nusantara, dengan resistensinya terhadap imperialisme. Dalam buku ini kami mencoba untuk menguak tentang bagaimana sebuah tradisi dikonstruksi oleh para ulama dan santri, untuk melawan penjajahan dengan senjata paling mematikan, yakni strategi kultural.

Strategi ini menunjukkan dengan baik, bahwa ulama tak hanya memerintahkan rakyat untuk berperang dan bertempur langsung dengan penjajahan dengan mengatasnamakan jihad, namun dengan ilmu hikmahnya, para sarjanawan Islam Nusantara, mampu melindungi pemikiran kolektif masyarakat, dengan tradisi-tradisi yang lahir dari rahim keilmuan Islam.

Dalam buku ini, akan didapatkan sebuah gambaran yang menghenyak, bahwa aksara Pegon, tari seudati, syair dan tembangtembang, digunakan oleh para ulama sebagai mediasi membangun spirit nasionalisme dan patriotisme untuk tetap setia tidak hanya pada agamanya, tapi pada negaranya. Taktik kultural inilah yang secara nyata memperlihatkan resistensi komunitas Islam Nusantara pada penindasan kolonialisme.

Riset kali ini, tak hanya menyuguhkan bagaimana konstribusi tradisi Islam Nusantara dalam menangkal penjajahan, namun juga diketengahkan bukti bahwa dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang berada di Makkah dan Timur Tengah. Yang, sekembalinya dari perantauan ilmiah itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan serta –yang paling penting- menjadi inisiator ulung gerakan semangat jihad melawan kolonialisme.

John R. Bowen misalnya, dalam artikelnya yang bertajuk Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam menulis bahwa ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat keagamaan sekaligus kebangsaan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui pendirian pesantren, penulisan produk keilmuan, sampai pada era paling belakang dengan membentuk organisasi Islam.

Sebagai sebuah kajian, tentu banyak titik ketidaksempurnaan yang ada dalam penelitian ini. Namun, kami berusaha menyuguhan asupan ilmiah sekaligus sebagai ikhtiar sumbangsih ilmu pengetahuan, tentang Islam Nusantara pada khususnya, agar bangsa kita lebih menghargai aset serta kekayaan-kekayaan keislaman yang berakar pada karakter dan tradisi masyarakat Indonesia. Buku hasil dari joint research kami berdua, dari dua lembaga perguruan tinggi yang berbeda yaitu antara PTKIS dan PTKIN merupakan upaya sinergis untuk melakukan salah satu amanah tri dharma perguruan tinggi dalam bidang penelitian. Dengan adanya riset ini, kami menyimpulkan bahwa Islam (khas) Nusantara dengan berbagai dialektika sekaligus dinamika historis yang mengikutinya, sangat tepat bagi karakter sosio-kultural keindonenesiaan, karena spriritnya yang multidimensional. Sebuah “bentuk keislaman” yang bisa merangkul perbedaan, dan membaur bersama kebudayaan lokal. Tak hanya bermodal semangat beragama, namun juga tetap apresiatif terhadap budaya serta komitmennya yang kuat terhadap bangsa dan negara.


Surabaya, Februari 2020
Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M.Ag.
W. Eka Wahyudi, M.Pd.I.

Daftar Isi

Cover Depan
Lembar Hak Cipta
Sekapur Sirih
Daftar Isi
Pendahuluan
     A. Islam Nusantara: Merangkai Narasi Historiografi
     B. Jejak Wiraniagawan dalam Sejarah Islam Nusantara
     C. Stategi Kebudayaan dalam Islamisasi Nusantara
     D. Mazhab Asy’ariah dalam Dinamika Teologi Islam di Nusantara
Khazanah PeradabanIslam Nusantara
     A. Islam Nusantara Sebagai Diskursus Keilmuan
     B. Genealogi Akademik dan Gerakan Kultural Islam Nusantara
          1. Karya Intelektualisme Ulama Nusantara
          2. Jejak Peradaban Politik Islam di Nusantara
     C. Islam sebagai Social System di Nusantara
          1. Islami Nusantara: dari Akulturasi sampai Islamisasi
          2. Anatomi Islam Nusantara dalam Desain Arsitektur
Kolonialisme dalam Jejak Islam Nusantara
     A. Reinterpretasi Narasi Sejarah Islam di Nusantara
     B. Resistensi Ulama Nusantara Melawan Imperialisme
     C. Haji dan Tarekat: Konsolidasi Langit Merebut Kemerdekaan
     D. Tradisi Pegon: Dari Ideologisasi sampai Perlawanan Kultural
          1. Aksara Pegon: Simbol Intelektualisme Islam Nusantara
          2. Taktik Ulama Melawan dengan Aksara
Dialektika Peradaban Islam Nusantara
     A. Akulturasi Budaya dalam Pembentukan Islam Nusantara
     B. Resistensi terhadap Kolonial dalam Pembentukan Budaya Islam
     C. Pesantren sebagai Lembaga Konservasi Islam Nusantara
Catatan Akhir
     A. Jejak Peradaban Islam Nusantara era Kolonial
Daftar pustaka
Resolusi Djihad II
Mars Hizboellah
Bait-Bait
Tentang Penulis
Tentang Bitread
Cover Belakang

Kutipan

Dialektika Peradaban Islam Nusantara
Realitas bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia merupakan indikasi paling konkret bahwa bangunan peradaban bangsa Indonesia banyak ditopang oleh fondasi kearifan ajaran Islam. Yaitu corak keislaman yang terbentuk melalui proses panjang semenjak kurun waktu abad ke-7 hingga ke-21 M. dalam rentang waktu inilah terjadi dialektika antara ajaran Islam dengan kebudayaan, sebagai tradisi dan pola hidup masyarakat Indonesia. Sebuah varian keislaman yang bertemu, selaras dan mendasari pembangunan negara-bangsa, Gus Dur mengistilahkan fenomena ini sebagai pribumisasi Islam. Dengan demikian, Islam Indonesia adalah Islam yang bertemu dengan karakter bangsa.

Islam Nusantara dalam konteks ini, merupakan produk intelektual para ulama yang lebih menitikberatkan pada pemahaman Maa haula an-Nass (around the text), dan bukan berhenti pada pemahaman maa fii al-Nass (in the text). Pola keberagamaan ini, tercermin dari religious experience para ulama Nusantara yang senantiasa memahami teks-teks keilmuan Islam (baca: Al-Quran dan hadis ) lengkap dengan setting sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya. Sehingga tidak terjebak dalam verbalitas dan rigiditas teks yang justru lebih banyak melahirkan pemahaman-pemahaman yang kaku dan tanpa kompromi.

Melalui fondasi inilah, maka Islam Nusantara melahirkan karakternya yang mampu merangkul dan dirangkul dengan nilai-nilai ke Nusantaraan. Yakni sistem nilai yang dibentuk oleh pertemuan agama-agama besar dengan tradisi kerohanian awal di Nusantara. Maka, Islam Nusantara kemudian mengarah pada pertemuan antara Islam dan tradisi kultural.

Pada titik ini, eksistensi Wali Songo menjadi pondasi paling kontributif dalam pembentukan kultur Islam khas Nusantara, khususnya di Jawa. Para Wali yang merupakan manusia par excellence mempunyai modalitas tak hanya keilmuan dalam bidang syariah (yurisprudensi Islam), namun juga dibekali dengan kepiawaiannya dalam bidang tasawuf, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan.

Kenyataan inilah yang pada akhirnya menjadikan Islam Nusantara berkembang bersifat gerakan sosio-cultural, bukan gerakan politik. Sifat kultural ini bisa terbentuk, karena penekanan para Wali atas substansi Islam yang akhirnya bisa membumi ke dalam bentuk budaya keagamaan lokal pra-Islam.

Strategi yang dilakukan oleh para Wali dan penyebar Islam di kepulauan Nusantara ini, merupakan jawaban cerdas para ulama dalam menghadapi tantangan fenomena sosial yang terus berubah (al-waqi’i ghair al-mutanahiyah) yang dibenturkan dengan teksteks yang pada faktanya bersifat terbatas (al-Nusus al-Mutanahiyah) sebagaimana menjadi adagium Ibn Rusyd dalam preamblue kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihaya al-Mustafid-nya.

Perwujudan kultural bentukan Wali Songo ini kemudian mencapai titik paripurna di dalam pesantren. Hal ini tidak lepas dari jasa para kibar al-ulama Nusantara, seperti Kiai Hasyim Asyari, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, dll yang telah mendirikan pesantren sepulang belajar dari Makkah. Pembentukan pesantren ini kemudian menyempurnakan pesantren awal yang telah dibangun oleh para Wali semisal Sunan Giri dan Sunan Ampel.