Tampilkan di aplikasi

Buku Kanaka hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Inkulturasi Islam dalam Cerita Pewayangan

1 Pembaca
Rp 54.000 17%
Rp 45.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 135.000 13%
Rp 39.000 /orang
Rp 117.000

5 Pembaca
Rp 225.000 20%
Rp 36.000 /orang
Rp 180.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Apakah wayang sebagai ajaran agama.
Agama Hindu terlihat lebih dekat.
Adakah kisah wayang dalam kitab Hindu,
Buka Rig Veda, Sama Veda,Yayur Veda, Atarwa Veda
Resi Wiyasa dan Walmiki-lah yang dapat menjawab.

Cermati alur cerita
Pendidikan dan pembinaan karakter ada di sana.
Kebenaran melawan keangkaramurkaan.
Datang yang haq akan hancur yang bathil.
Kebenaran ada di atas segalanya.

Wayang itu gambar, bayang-bayang.
Gambar kehidupan manusia
Kehidupan dunia maya dan nyata.
Kadang logika tak dapat menerima.
Rahasia hikmah tak banyak yang tahu.

Sunan Kalijaga mengintip dengan teropong Islam.
Pelan-pelan Islam masuk dunia pewayangan.
Wayang dipakai media dakwah.
Selanjutnya tergantung dalang dan pengarang.
Mudah-mudahan pembaca tak salah sangka

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Ki Setyo Handono

Penerbit: Kanaka
ISBN: 9786237029359
Terbit: Februari 2019 , 87 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Apakah wayang sebagai ajaran agama.
Agama Hindu terlihat lebih dekat.
Adakah kisah wayang dalam kitab Hindu,
Buka Rig Veda, Sama Veda,Yayur Veda, Atarwa Veda
Resi Wiyasa dan Walmiki-lah yang dapat menjawab.

Cermati alur cerita
Pendidikan dan pembinaan karakter ada di sana.
Kebenaran melawan keangkaramurkaan.
Datang yang haq akan hancur yang bathil.
Kebenaran ada di atas segalanya.

Wayang itu gambar, bayang-bayang.
Gambar kehidupan manusia
Kehidupan dunia maya dan nyata.
Kadang logika tak dapat menerima.
Rahasia hikmah tak banyak yang tahu.

Sunan Kalijaga mengintip dengan teropong Islam.
Pelan-pelan Islam masuk dunia pewayangan.
Wayang dipakai media dakwah.
Selanjutnya tergantung dalang dan pengarang.
Mudah-mudahan pembaca tak salah sangka

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Syukur alhamdulillah, penulisan buku sudah lama ingin penulis tunaikan. Namun karena kesempatan belum terbuka luas, maka buku ini belum penulis wujudkan. Dan puji syukur akhirnya – walau terasa tergesa- buku sederhana ini bisa penulis wujudkan. Semoga bisa menambah wawasan bagi siswa SMA di manapun berada.

Penulis kerap tiba-tiba meneteskan air mata secara spontan, mendengar paparan Ki Narto Sabdo ( almarhum ) saat mengungkapkan cerita yang menyedihkan dalam sebuah lakon. Rasanya hati ini terpukul, seraya mengidentifikasi diri, betapa hancurnya hati ini seandainya pelaku dalam cerita itu adalah saya.
Benar-benar menyentuh perasaan. Sulit penulis memilih bagaimana saya harus berbuat. Sehingga air mata meleleh dari ledakkan hati dan perasaan yang dalam. Yang jelas dapat mengetuk lubuk hati menjadi lunak dan penuh rasa cinta, rasa kasih sayang kepada sesama. Maka penulis berandai-andai, betapa besar kekuatan pengaruh yang seperti ini untuk menanamkan ajaran agama kepada pendengar.

Dengan terbitnya buku ini semoga bermanfaat bagi para siswa dalam mengenal wayang. Demikian juga. Sehingga dari pengetahuan ringan ini siswa dapat memahami nilai kearifan local pada budaya wayang kemudian memperoleh keuntungan ganda yakni, keuntungan dunia-akhirat, sekaligus berperan ganda sebagai warga masyarakat yang bijaksana dalam menyikapi budaya yang memilik manfaat bagi masyrakat pendukungnya.

Penulis menyadari keterbatasan kemampuan mengungkap rahasia hikmah dibalik cerita pewayangan dengan bahasa yang mudah dipahami, serta keterbatasan pengetahuan tentang pewayangan. Hal ini tentu mengundang kritik terutama dari kalangan yang tidak senang kepada wayang atau orang yang lebih luas wawasannya tentang wayang. Walaupun demikian penulis yakin ada rumput hijau yang tumbuh di tengah kotoran sapi. Tiada rotan akarpun jadi. Bukankah berdakwah itu harus melihat animo dan budaya pendengar serta menggunakan bahasa mereka, bahasa yang sesuai dengan alam pikiran mereka. Maka pelan-pelan akan timbul ketertarikan kepada seruan agama.

Cerita dalam pewayangan dikarang dan ditulis oleh filosof dan budayawan yang sangat halus perasaannya. Sehingga mampu menembus liku-liku dan sudut kehidupan masusia. Tersebut dan diakui siapa Rajagopalachari yang dianggap orang suci di India menulis kisah Ramayana. Resi Wiyasa dan Walmiki menulis kisah Mahabarata.

Ternyata dalam perkembangan wayang di Pulau Jawa, yang konon di prakarsai Sunan Kalijaga, telah mengalami perkembangan dengan menambah dan memasukkan cerita dan figur baru. Semisal, pusaka andalan Prabu Yudhistira, raja Amarta, yang terkenal dengan nama " JAMUS KALIMASADA ", yang artinya " Jatikaning Mustika Kalimah Syahadat ". Maksudnya bahwa seutama-utama pegangan hidup manusia adalah dua kalimah syahadat yang menyatakan bahwa : " Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad Rasululloh".

Cerita ini tak ditemui dalam kisah Mahabarata yang berasal dari India. Demikian juga figur punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

Tidak menyangkal, bila sebagian Muslim di Jawa menganggap bahwa wayang itu termasuk mengembangkan budaya syirik, dakwah yang tidak effisien, melanggar syari'ah Islam dan madlorotnya lebih besar dari pada manfaatnya. Mungkin orang yang berpendapat seperti ini hanya melihat efek samping pagelaran wayang kulit. Tetapi bila membaca buku dan mencermati alur cerita sesungguhnya di situ banyak rahasia hikmah perjalanan hidup manusia dan pembinaan akhlaqul karimah.

Orang yang memandang dari sisi negatif sebaiknya tidak usah melihat pagelaran wayang, cukuplah mereka membaca atau mendengar pagelaran wayang dari radio dan mencermati rahasia apa yang terkandung dalam cerita itu.

Akhirnya terserah kepada siapa yang dapat mengambil pelajaran dari buku ini untuk kemaslahatan manusia, khususnya pecinta wayang sesuai dengan bimbingan rohani yang Islami, untuk membina akhlak dan budi pekerti luhur. Yang jelas ini adalah ceritera, bukan realita sejarah. Cerita mithos itu tidak dapat dipersalahkan seandainya berbeda dengan pembaca. Karena yang menyalahkan tidak dapat menunjukkan yang benar, benar berdasar realita, data dan fakta. Dan yang menyalahkan belum tentu dapat menciptakan media dakwah sepopuler pagelaran wayang. Hanya di tangan Allah kebenaran yang hakiki.

Wa kafaa billaahi syahiida.

Penulis

Ki Setyo Handono - Terlahir normal di Brangkulon Tagalombo Pacitan Jawa Timur pada 1966. Ayah bernama Wakidjo al Hardjodarsono, Ibu bernama Nanik Sumarni. Simbah dari Ayah bernama Mbah Martawi pegawai kantor distrik Tegalombo, Mbah Putri bernama Borinem, terus Mbah Djuminah. Sedangkan Simbah dari ibu bernama Suwandi juru tulis Belanda, dan Mbah Putri (nama Jawanya Genduk Marni) beliau asli keturunan orang Belanda, nama Londonya gak tahu deh? Mbah Londo berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang, mata biru, persis wong londo.

Pendidikan saya; pernah sekolah di SD Tegalombo 1, kemudian pernah sekolah di SMP PGRI 13 Tegalombo, dan pernah melanjutkan di SMA 271 Negeri 1 Pacitan jurusan IPS, (dan jurusan Pacitan-Tegalombo, naik bus Aneka Jaya, kalau libur), terus pernah kuliah di Seni Rupa, terus pernah kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, terus pernah kuliah di Megister Panggah Dedel (MPd), atau apalah. Sudah ya ah… bagiku gak penting gak usah diurus pendidikan gue nggak layak ditulis pokoknya.

Pengalaman menulis, mulai kelas satu SD (1971) yakni nulis; ibu budi, bapak budi, paman budi, adik budi, dan teman-teman budi bahkan klas tiga baru lancar menulis pengalaman Budi ketika Budi hidup di sekolah dan masyarakat … ternyata menulis itu asssyyiik …

Daftar Isi

Cover
Pitutur Luhur
Piweling
Kata Pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
Bab 1: Alam Ketuhanan
Bab 2: Alam Kedewataan
     Siapakah Dewa itu?
     Siapakah Dewi itu?
Bab 3: Asal-Usul Cerita Wayang
Bab 4: Inkulturasi Islam
Daftar Bacaan
Tentang Penulis

Kutipan

Alam Ketuhanan
Dalam pewayangan tidak dikenal istilah dan sebutan “TUHAN”, di sini dipakai hanya untuk memudahkan  penyebutan dan penalaran. Sedang dalam pewayangan  “Tuhan” dikenal dengan sebutan “Sang Hyang” artinya  “Yang Maha”. Istilah Sang Hyang dipakai untuk  membedakan dengan kedudukan dewa yang bergelar “Bathara” yang  artinya orang suci, atau dalam bahasa Islamy disebut “maksum”  artinya terjaga dari kesalahan.

Sang Hyang Tunggal: Tuhan Yang Maha Esa Sang Hyang Wenang : Tuhan Yang Haq disembah Sang Hyang Wening: Tuhan Yang Maha Suci Sang Hyang Widiwasa: Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Hyang Murbeng Dumadi: Tuhan Pencipta, dan Pemelihara  semua makhluk Sang Hyang Jagat Nata: Tuhan Pengatur alam raya.

SANG HYANG TUNGGAL
Dalam pewayangan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang  Wenang , Sang Hyang Wening, Sang Hyang Widiwasa, Sang Hyang  Murbeng Dumadi, Sang Hyang Jagat Nata adalah personal yang  berbeda-beda.

Mereka bersifat gaib, tidak diwujudkan dalam bentuk wayang,  tetapi cukup dalam sebutan. Karena ini mengisyaratkan sifat “GAIB”  Sang Hyang Tunggal yang tidak boleh digambar dalam bentuk  wayang, tidak dapat dijangkau kemampuan akal dan indera manusia  sebagaimana sifat gaib Allah SWT. Allah itu “wujud”, tetapi kita  dilarang memikirkan wujud Allah