Tampilkan di aplikasi

Sumbawa pesta dan petaka di tanah Sumbawa

Majalah CHIP Foto Video - Edisi 09/2016
20 Oktober 2016

Majalah CHIP Foto Video - Edisi 09/2016

Feri yang membawa saya dari Pelabuhan Kayangan di Lombok Timur, bergerak lamban membelah Selat Alas. Selang dua jam perlayaran, daratan Sumbawa muncul seperti barisan bukit hijau setengah kecoklatan yang menghampar panjang.

CHIP Foto Video
Feri merapat, bukit-bukit hijau itu seperti menyembul di pesisir pantai yang sepi. Bila di musim kering, warna hijau itu tentu akan berubah menjadi coklat menguning. Tapi saya datang ketika hujan mengguyur tiada henti. Dari Poto Tano saya menumpang bus yang melewati jalan berliku, menyusuri pantai berpasir hitam di barat laut Sumbawa. Dari balik jendela bus yang buram oleh hujan dan dingin AC. Saya melihat rumah-rumah beratap tembikar kusam, pohon-pohon bakau tua dengan akar menghujam ke muara.

Hamparan sabana luas dipenuhi kerbau dan kuda. Ratusan ribu jumlah kerbau tersebar di seluruh daratan pulau ini, para pengembala mengiringinya dari kejauhan. Bukit-bukit yang dipenuhi penambang yang mencari emas secara tradisional. Sumbawa bagai Swarnabhumi, pulau emas yang terpisah jauh dari Sumatera, walau masyarakat di sini menambangnya tidak di sungai dan sawah, sebagaimana di Sumatera. PT Newmont telah bertahun-tahun mengeruk emas dari perut bumi Sumbawa, dan betapa anehnya, emas tidak kunjung habis dari pulau dengan dipenuhi sabana dan bukit-bukit botak ini. Gunung Tambora tampak bagai bayangan tipis. Kabut yang menutupi puncaknya membuat ia terlihat seperti gadis cantik yang dibalut minteri.

Gunung jangkung ini pernah mengirim petaka pada tahun 1815, tepat dua abad silam. Letusannya adalah goncangan penuh abu yang tidak hanya mengubur kerajaan-kerajaan kaya di Pulau Sumbawa dan menggelapkan langit Nusantara, tapi juga langit di Barat sana. Letusan yang membuat ribuan ternak mati, termasuk kuda. Orang-orang lalu mencari alternatif tunggangan yang tidak membutuhkan sinar matahari dan pakan. Sepeda pun tercipta. Tapi bukan cuma itu. Frankenstein, karakter rekaan Mary Shelley, juga muncul dilatarbelakangi oleh letusan Tambora. Di belahan yang lain, Pasukan Napoleon di Waterloo dipukul telak oleh musuh. Tanpa Tambora, barangkali hari ini kita akan memakai bahasa Prancis sebagai bahasa dunia.
Majalah CHIP Foto Video di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI