Kodok pertama seolah bergumam, “Oh, nikmatnya terayun-ayun…, terima kasih ranting yang telah menyelamatkan kita dan memberi kenikmatan hidup!” Ia begitu yakin bahwa rantinglah yang amat berperan. Kodok kedua langsung protes. “Bukan, bukan ranting yang memberikan kenikmatan, tetapi airlah yang berperan menggerakkan ranting, tanpa air tidak mungkin ranting-ranting itu akan memberikan kenikmatan pada kita!” sergahnya.
Belum juga kodok pertama menjawab, kodok ketiga sudah “naik darah”. “Mana mungkin air yang berperan, air ini tidak akan mengalir kalau tidak ada sungai yang terbentang dari hulu ke muara! Jadi, sungailah yang berperan penting!” Tentu saja ketiga kodok-kodok tersebut saling berdebat. Bahkan sudah menjurus ke anarkis, dengan saling mendorong untuk mengalahkan “ideologi” yang berbeda.
Akhirnya, kodok keempat pun turun tangan. “Sudah, sudahlah jangan berkelahi. Masing-masing pemikiran itu benar! Benar bahwa ranting berperan penting. Benar juga bahwa air dan sungai itu berperan penting. Tanpa salah satunya, tidak mungkin kita bisa selamat dan menikmati perjalanan ini!” Belum selesai kodok keempat bicara, ketiga kodok lain serta-merta menyerbu kodok keempat, mendorongnya hingga tercebur bersama kearifannya.
Pemikiran Kahlil Gibran, yang dikisahulangkan secara bebas tersebut, terasa amat menohok kehidupan nyata kita sehari- hari. Bahasa modern yang dipercaya bisa pas untuk mengekspresikan kisah tersebut adalah mindset fanaticism, yang merupakan sumber malapetaka sebuah bangsa bersatu, perusahaan yang bersatu, bahkan keluarga yang bersatu. Para pemimpin, apakah itu pemimpin bangsa, pemimpin perusahaan ataukah pemimpin keluarga, terpenjara dalam fanatisme kelompok maupun fanatisme pikiran dirinya sendiri. Hanya pendapatnyalah yang benar!
Majalah Eksekutif di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.