Anak Ayah. Sampai almarhum bokap meninggal, seingat saya, nggak pernah ada masa di mana saya disebut sebagai “anak ayah”. Bisa jadi karena memang tampang dan perawakan saya nggak mirip sama almarhum. Bisa jadi pula, sifat dan kelakuan kami dilihat berbeda bak Bumi dan langit. Buat ukuran keluarga yang rata-rata tinggi badannya kayak orang Indonesia kebanyakan, perawakan saya memang tergolong tinggi. Almarhum bokap malah sering berseloroh kalau saya keseringan makan mie, jadinya melar memanjang, melebihi tinggi badannya sendiri bahkan saat saya masih SMP.
Secara sifat, wah, jangan ditanya lagi. Beliau dikenal sebagai yang paling pendiam dan tenang di antara saudarasaudaranya yang lain, walaupun bukan berarti selalu serius. Beliau jarang banget langsung berkomentar atau berreaksi terhadap segala sesuatu, bahkan yang harusnya mengganggu dirinya. Segala sesuatunya selalu dipikir masak-masak, dihitung untung ruginya, pokoknya teliti banget lah. Sementara dari dulu, saya selalu dicap sebagai orang yang nggak bisa diam, dan cenderung spontan. Bahkan kadang suka nggak mikir sebelum melakukan sesuatu. Jalan saja dulu, urusan belakangan. Perbedaan ini yang selalu jadi pemicu perdebatan kami.
Di satu sisi, saya juga bingung, kenapa kami bisa begitu berbeda. Padahal, dari beberapa riset, biasanya anak laki-laki itu menjadikan ayah sebagai role model. Baik dalam bersikap, berlaku dan berpikir. Dan dari beberapa riset pula, biasanya seorang ayah bakalan memoles anak laki-lakinya supaya jadi penerusnya. Di sisi lain, saya malah bersyukur, karena perbedaan kami ini memudahkan saya untuk keluar dari bayang-bayang almarhum. Artinya, kasus-kasus melodrama hiperbolis seputar bayang-bayang ortu kayak di sinetron nggak terjadi di saya. Saya bersyukur, karena almarhum bokap ngasih ruang buat perbedaan di antara kami, dan nggak memaksakan maunya pada saya. Sehingga, saya bisa leluasa secara obyektif memilah-milah mana sifat, sikap dan buah pikir yang layak saya tiru dari almarhum, dan mana yang baiknya nggak perlu diadopsi.
Karena kan orang tua tetap saja manusia, yang nggak luput dari salah. Masak iya, sudah tahu salah masih dicontoh juga? Ya nggak?