Surat Walaupun menulis saat ini ibaratnya adalah makanan harian, tapi saya tetap lebih merasa nyaman buat menyampaikan maksud secara lisan. Alias ngomong. Lengkap dengan gesture atau bahasa tubuh, buat saya sebuah percakapan yang intens bisa jauh lebih efektif untuk bertukar pesan, isi pikiran, maksud dan perasaan ketimbang sebuah tulisan panjang, bahkan dengan bahasa yang paling berbunga-bunga dan memikat sekalipun.
Itu sebab dari dulu saya nggak pernah hobi surat menyurat atau berkirim email. Sekarang pun walau urusan berkomunikasi sudah banyak dilakukan via aplikasi messaging, tapi ketika ingin menjelaskan sesuatu lebih detil, saya sebisa mungkin akan mencari jadwal untuk bertemu langsung. Soalnya ya itu tadi, biasanya jauh lebih efektif. Seringkali ada hal-hal dalam sebuah percakapan langsung yang nggak bisa diungkap ketika hal itu dilakukan lewat teks.
Yang paling mudah, misalnya, adalah soal intonasi. Sebuah kata atau kalimat bisa punya makna yang sama sekali berbeda ketika ada imbuhan intonasi. Contohlah kata “anjing”. Penambahan tanda seru di belakang, memang bisa seketika mengubah makna menjadi sebuah seruan. Tapi, tanpa intonasi yang pas, kita nggak bakal tahu apakah seruan itu untuk memperingatkan kita bahwa ada anjing di dekat kita, atau justru untuk memaki kita. Tanpa intonasi dan bahasa tubuh yang jelas, kita juga nggak bisa tahu apakah kata itu dilontarkan dalam kondisi benar-benar memaki, atau malah makian untuk menunjukkan keakraban.
Itu juga yang membuat pengembang aplikasi messaging menambahkan fitur emoticon, emoji atau reaction dalam apps mereka. Supaya penggunanya bisa lebih clear dalam mengekspresikan maksud pada lawan bicaranya. Toh, hal itu tetap belum bisa menggantikan sepenuhnya peran intonasi seperti saat bicara langsung. Semua itulah yang bikin saya lebih senang ngomong langsung ketimbang surat-suratan, LINE, WA atau email-emailan. Kalau kamu?