Tampilkan di aplikasi

Ilmu tani di bibir samudra

Majalah Hai - Edisi 41/2016
19 Oktober 2016

Majalah Hai - Edisi 41/2016

Orang sini, tuh, kalo nggak makan ikan aneh rasanya,” cerita Hendra, pegawai muda dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga kota Baubau sewaktu makan siang.

Hai
“Orang sini, tuh, kalo nggak makan ikan aneh rasanya,” cerita Hendra, pegawai muda dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga kota Baubau sewaktu makan siang. Saya cuma angguk-angguk kepala. Di depan saya, laut membiru bikin mata lega dan adem pas ngelihatnya. Kami udah siap menyantap ikan laut di sebuah rumah makan, yang letaknya dekat Pelabuhan Murhum, titik ekonomi pulau di bibir samudra ini. Hari berganti. Kejadiannya agak mirip dengan cerita tadi. Saya lagi bareng bersama Muhammad Hamzah. Biar gampang panggil aja dia, Anca. Dia bersekolah di SMK Negeri 4 Baubau dan tercatat sebagai salah satu penghuni kelas XI. Sepulang Anca sekolah, kami berjalan kaki. Tujuannya, cari tempat makan siang.

“Tiada hari tanpa ikan di sini,” katanya sambil menyuap sop sodara. “Di rumah pun, tiap hari aku makan ikan.” Mumpung dapat traktiran, Anca pilih sop yang menyajikan daging. Ikan tak jadi pilihannya. Saya? “So pasti ikang.” Gimana mau nolak, aroma ikan bakar di deretan meja sebelah amat menggoda selera makan saya, bro. Ikan dan laut emang udah jadi keseharian warga Baubau. Selamat datang di kota kecil yang ada di pinggir Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Sejak masa kerajaan Buton (Wolio) Berjaya, laut udah pegang peran penting. Kota ini emang nyaris dikelilingi laut. Pulau kecil di sekitarnya jadi pagar alami buat nahan gelombang samudra. Sekarang, ekonomi tempat ini makin maju, gegara pesawat baling-baling bolak-balik angkut penumpang dan barang.

Ada di dekat garis katulistiwa bikin Buton gerah. Sang matahari kayak ngajak temantemannya waktu nongol. Mau nggak mau, Baubau ikut terik. Apalagi ini kota yang terbuka, kayak di pantai, sinar matahari nggak perlu repot-repot menembus daun-daun dari pohon besar yang memayungi jalanan untuk bisa menyentuh kulit kita. “Jakarta sepanas ini nggak, Kak?” tanya Anca waktu temani saya menyusuri pantai Kamali. “Di sini panas banget. Bisa dua kali lipatnya, Ca!” “Wah, ini belum apa-apa, Kak.
Majalah Hai di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI