Haluan dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Wapres Jokowi edisi pertama, Jusuf Kalla pernah mengungkit kisah soal entrepreneurship. Ia memberikan gambaran sulitnya sarjana mendapatkan lapangan pekerjaan setelah menamatkan diri di perguruan tinggi tempat mereka menimba ilmu.

Dari 900 ribu lulusan perguruan tinggi, hanya 50 ribu saja yang diterima. Artinya, jika dirata-ratakan, dari 18 orang alumni hanya 1 orang yang bisa diserap oleh lapangan kerja.

Karenanya, orang nomor dua di republik ini mendorong mahasiswa untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri demi. Mereka didorong untuk menjadi wirausahawan muda sehingga tak menggantungkan diri dengan lapangan kerja formal dan bercita-cita menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Jelas ini mendorong mereka untuk bisa bermandiri tanpa harus menggantungkan serapan ilmu spesifik yang mereka terima di kampus.

Namun, untuk mendorong “pelarian” itu, tentunya perguruan tinggi harus siap dan menyiapkan diri untuk menciptakan mahasiswa menjadi lulusan yang berdaya saing agar bisa menjadi seorang wirausahawan.

Harus ada program atau mata ajar memang diterima merata di semua program studi di perguruan tinggi.

Tak sekedar ada mungkin. Bahkan, perguruan tinggi mestinya tak sekedar meng-ada-kan bahan ajar soal kewirausahaan tersebut. Mesti berpihak tentunya sehingga bisa menghasilkan lulusan yang bisa mandiri dan tak bergantung kepada lapangan pekerjaan. Tapi, bagaimana kondisinya kini? Apakah perguruan tinggi sudah punya formulasi untuk itu.

Dalam perkembangannya, paradigma pendidikan tinggi kita memang kelihatan lebih condong berorientasi untuk menghasilkan alumni pencari kerja (job seekers), bukan alumni pencipta lapangan kerja (job creator). Sampai saat ini, sekitar 82,2 persen lulusan perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan pekerjaan, ternyata bekerja sebagai pegawai.

Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat Selain itu, pendidikan tinggi juga terbukti belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah; belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri. Sepertinya, Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat.

Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Hampir setiap tahun, atau di waktu-waktu tertentu, kita disajikan dengan berita tawuran mahasiswa, juga tawuran para siswa.

Februari 2020