Tampilkan di aplikasi

Mengkader dai mujahid pedalaman

Majalah Hidayatullah - Edisi 10/2017
18 Januari 2018

Majalah Hidayatullah - Edisi 10/2017

Tujuan utamanya adalah mencetak kader dai yang sami’na wa atha’na jika ditugaskan berdakwah ke berbagai penjuru negeri, khususnya pelosok daerah, pedalaman, dan kepulauan terpencil. / Foto : Dokumen Majalah Hidayatullah

Hidayatullah
“Di pintu gerbang pesantren kita berpisah. Di medan dakwah kita akan berjumpa lagi.” Kata-kata Allahuyarham Ustadz Abdullah Said (pendiri Hidayatullah) itu masih menancap kuat dalam ingatan KH Ad-Dailamy Abu Hurairah (65 tahun), pimpinan Pesantren Abu Hurairah, Sapeken, Madura, Jawa Timur.

Waktu itu tahun 1971, keduanya baru saja selesai menempuh pendidikan di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Ad-Dailamy dan Abdullah Said –saat itu dikenal dengan nama Muhsin Kahar--meneguhkan komitmen bersama untuk mendirikan pesantren.

Tujuan utamanya adalah mencetak kader dai yang sami’na wa atha’na jika ditugaskan berdakwah ke berbagai penjuru negeri, khususnya pelosok daerah, pedalaman, dan kepulauan terpencil. “Selesai dari Bangil, saya pulang ke Sapeken. Saya kurang tahu ke mana Ustadz Muhsin setelah itu. Yang jelas, 1973 kami bertemu kembali di Yogyakarta,” ujar pria kelahiran Sapeken, 18 Februari 1952 ini.

Keduanya bertemu dalam sebuah majelis ilmu di Akademi Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta. Waktu itu, anggota Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis ini tengah mencari guru untuk belajar berbagai disiplin ilmu, khususnya tafsir, fiqh, dan ushul fiqh.
Majalah Hidayatullah di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI