Tampilkan di aplikasi

Puasa, yang logis yang sempurna

Majalah Hidayatullah - Edisi 06/2016
20 Februari 2018

Majalah Hidayatullah - Edisi 06/2016

Hal ini bisa dipahami secara logis melalui nalar manusia berakal.

Hidayatullah
Salah paham, tidak paham, dan kurang paham menjadi ciri khas mayoritas manusia. Pemahamannya lebih banyak terhenti pada aspek yang kasat mata dan acap gagal menembus yang hakiki di balik fenomena.

Demikian potret yang tercermin dari firman Allah “Allah tidak akan menyalahi Janjinya, akan tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (Ar-Rum [30]: 6-7)

Diketahui, bahwa puasa berarti mengekang diri dari halhal yang membatalkan, mulai fajar sampai tenggelamnya matahari. Sayangnya makna itu sering terhenti pada aspek pasif saja. Makna tersebut tentu tidak salah, sebab fiqih memang berada pada tataran praktis dan riil.

Namun di balik itu terdapat makna spesifik yang menjadi substansi dari puasa. Pengabaian makna ini, justru berakibat fatal. Ia bisa menihilkan apa yang lahirnya terlaksana sempurna. Rasulullah mengingatkan dalam sebuah Haditsnya: Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan bohong, berbuat karenanya dan berlaku bodoh, maka Allah tidak butuh sikapnya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat al-Bukhari).

Secara terpisah, meninggalkan makan, minum, dan sejenisnya bisa kehilangan makna jika tidak menyertakan perkara substantif lainnya, yaitu konsisten berperilaku baik serta menjaga diri dari keburukan. Tak heran sebagian ulama, misalnya al-Auza’i, menjadikan ghibah termasuk pembatal puasa.
Majalah Hidayatullah di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI