Tarik-Menarik Antara Dunia Pendidikan dan Industri Jalan Margonda, Depok, yang bersebelahan dengan kampus Universitas Indonesia (UI) kini mulai diramaikan oleh bisnis startup alumni UI. Tak hanya alumni atau mahasiswa tingkat akhir yang menggeluti perusahan rintisan itu. Lokasinya yang cukup dekat dengan kampus memudahkan para alumni merekrut adik-adik kelasnya. Walhasil, cukup banyak mahasiswa tahun kedua dan ketiga, khususnya dari jurusan teknologi informasi (TI), berkuliah sambil berkerja sambilan di bisnis rintisan. Bukan tidak mungkin jika situasi serupa juga ditemui di kampus-kampus lain. Mahasiswa maupun fresh graduate lebih memilih bekerja di bisnis rintisan ketimbang melamar ke perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Alasannya tentu karena startup berbasis teknologi sedang menjadi tren. Kedua, karena kampus juga mulai memperkenalkan keterampilan wirausaha berbasis teknologi kepada mahasiswanya.
Meskipun menarik, fenomena ini juga memicu kekhawatiran di kalangan akademis maupun industri. Dengan bertambahnya jumlah lulusan TI—terutama yang berprestasi—yang memilih berbisnis atau berkarier di startup, industri kemungkinan akan kehilangan peluang memperoleh the best IT talent Ketika itu terjadi, bukan tidak mungkin jika industri akan mencari SDM yang sesuai kebutuhan bisnis ke luar negeri. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, strategi seperti ini tentu mengundang kekhawatiran.
Tarik-menarik antara dunia pendidikan dan industri dalam hal supply & demand, khususnya SDM TI, sudah terdengar sejak lama. Agaknya gap di antara keduanya memang tidak akan pernah sepenuhnya tertutup. Perkembangan teknologi dan dinamika bisnis yang bergerak cepat adalah penyebabnya. Yang paling mungkin dilakukan adalah menipiskan tembok pemisah itu sedemikian rupa agar kedua belah pihak dapat saling melihat. Dunia pendidikan harus terus aktif menjalin kerjasama dengan industri; industri tidak boleh tinggal diam dalam mengembangkan SDM-nya; orang TI pun harus tahu arah karier impiannya.