Media Sosial dan Data-Driven Company Di sepanjang bulan November lalu, ada dua topik yang ramai dibicarakan oleh masyarakat, yaitu kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45.
Menariknya, jika ditarik ke belakang, baik kasus Ahok maupun Donald Trump sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial dan perilaku para pengguna internet (netizen) masa kini.
Kasus Ahok berawal dari status Facebook Buni Yani yang menyebarluaskan video ucapan Ahok yang dianggap menghina umat Islam. Sementara itu, salah satu faktor kemenangan mengejutkan Trump dituding bersumber dari algoritma news feed Facebook yang hanya menampilkan berita-berita yang memuat pandangan yang sama di antara sesama pendukung Trump, termasuk berita-berita palsu (hoax) mengenai Hillary Clinton, lawan politik Trump.
Perilaku netizen sekarang ini memang cenderung langsung memercayai apa yang mereka lihat dan baca di media sosial, dan malah menyebarluaskannya, tanpa melakukan verifi kasi terlebih dahulu. Ini memang suatu kebiasaan yang harus diperbaiki. Tapi, atas alasan itu pula, media sosial dianggap sarana efektif untuk berkomunikasi dan membentuk opini publik secara cepat.
Tidak mengherankan jika banyak pihak–dari pemilik bisnis, lembaga pemerintah, sampai politisi–saat ini rela mengucurkan dana ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk strategi digital dan media sosial. Mereka ingin terlihat lebih dekat dengan target pasarnya, menjalin interaksi, sambil menyampaikan pesan tertentu.
Melalui ranah online pula, mereka mengumpulkan data untuk mengetahui kemauan konsumen, kemudian mengolahnya untuk memperbaiki layanan dan menentukan langkah bisnis selanjutnya. Dengan demikian, pebisnis bisa selangkah lebih dekat dalam mewujudkan data-driven company yang rasanya sudah menjadi keharusan di era digital.
Cara-cara lain untuk mencapai predikat data-driven company bisa Anda simak pada artikel laporan utama kami dalam edisi penghujung tahun ini.