Data Scientist Akan Makin Laris. SEMASA KULIAH di sebuah akademi di Virginia, Murray Webb termasuk mahasiswa yang kurang bersemangat dalam urusan akademis. Bagi Murray, kegiatan olah raga jauh lebih menarik daripada mengerjakan tugas kuliah.
Namun begitu ia diwisuda sebagai Master di bidang Statistik Terapan dari Kennesaw State University, Murray langsung memperoleh tawaran pekerjaan dari empat perusahaan sekaligus! Bahkan setelah bekerja pun, tiap minggu Murray Webb masih dihubungi perusahaan maupun biro perekrutan karyawan.
Cerita yang kurang lebih sama juga dialami oleh Rifan, seorang data scientist yang bekerja di perusahaan asuransi. Terpukau quick count, ayah Rifan menganjurkan putranya belajar ilmu Statistik. Padahal Rifan bercita-cita menjadi insinyur kimia. Selepas pendidikan S2 di bidang Statistik Terapan, tawaran pekerjaan di bidang analytics pun datang bertubi-tubi.
Murray maupun Rifan adalah bagian dari tren teknologi dan tren pekerjaan saat ini. Banyak korporasi maupun perusahaan rintisan sedang “memburu” sumber daya manusia yang ahli di bidang data science. Para ahli ini dicari karena kemampuan mereka mengubah data, misalnya klik dari media sosial atau foto-foto yang diunggah pengguna jejaring sosial menjadi kode binary yang mendatangkan keuntungan bagi bisnis.
Walhasil, data scientist menjadi profesi paling “seksi” dan dicari di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia? Mungkin trennya belum terlalu hype seperti di AS, tapi kami yakin ini hanya soal waktu. Begitu perusahaan menyadari pentingnya data bagi bisnis di masa depan, saat itu pula permintaan SDM di bidang data akan melonjak.
Yang terjadi di luar sana adalah kelangkaan data scientist. Bagaimana perusahaan dapat menyiasati hal ini padahal bisnis tak bisa menunggu lebih lama lagi? Pilihannya adalah melatih SDM yang ada untuk menjadi ahli data yang mumpuni. IK