Jangan sampai bikin kecewa. Kami teringat gurauan yang dilontarkan seorang teman sekitar sepuluh tahun silam. “Lo yakin yang kirim e-mail itu manusia? Kan lo ga kenal dia, ga lihat dia nulis e-mail kan? Siapa tahu yang nulis e-mail itu monyet pintar,” guraunya kala itu.
Ketika itu, ucapan si teman sekadar candaan. Namun, di masa kini bukan hal mustahil. Pada era kecerdasan buatan seperti saat ini, petugas pelayan pelanggan yang sedang menangani keluhan Anda bisa saja sama sekali bukan manusia. Bukan tak mungkin si petugas yang ramah itu adalah chatbot dengan kecerdasan buatan, atau robot yang pandai bicara (talking robot).
Chatbot dan AI yang sedang hype ini membuatnya makin dilirik organisasi bisnis. Menggunakan teknologi untuk otomatisasi dan scaling percakapan one-to-one tentu sebuah tawaran menarik bagi bisnis. Ada dampak efi siensi dan peningkatan pelayanan pelanggan yang mereka harapkan.
Namun, jangan sampai penerapan chatbot justru menjadi bumerang yang menjungkalkan merek dan perusahaan yang berakhir mengecewakan pelanggan. Misalnya seperti hasil survei Helpshift tahun 2018, 51% konsumen di Amerika Serikat ternyata tidak menyukai chatbot. Kehadiran chatbot mereka anggap jadi penghalang untuk berkomunikasi dengan petugas yang benar-benar manusia. Sementara, 48% lainnya menganggap jawaban dan solusi yang diberikan chatbot tidak membantu konsumen, dan 39,5% responden kecewa karena chatbot hanya mengarahkan mereka ke daftar FAQ.
Karena saat ini chatbot banyak dimanfaatkan di lini pelayanan pelanggan, perusahaan tentu harus serius dan terus-menerus mencerdaskannya. Salah-salah kata, si chatbot malah membuat pelanggan kecewa. Mungkin pengalaman dari BRI, Telkomsel, dan PT KAI yang kami sajikan di halaman Cover Story bisa menjadi inspirasi.