Sarah Rosemary (29) sempat kebingungan. Sebagai pengelola akun @hutanpapua. id, sehari-hari Sarah harus mengunggah konten edukatif di akun Instagram tersebut. Namun, pada 22 Mei lalu, ia gagal mengunggah konten yang sudah ia persiapkan. Sarah juga kesulitan berkomunikasi via WhatsApp dengan rekan kerjanya. Tak lama berselang, Sarah baru mengetahui jika hari itu memang Pemerintah RI sedang melakukan pembatasan akses media sosial, terutama untuk layanan berkirim foto dan video. Pembatasan itu terkait aksi unjuk rasa seputar keputusan pemenang Pemilu Presiden di Jakarta.
Meski tidak terkait dengan hingar-bingar politik, Sarah terkena imbas pembatasan media sosial itu. “Sangat membuat bingung pastinya, karena pas tanggal itu saya baru mendapat jobdesk buat menaikkan konten ke media sosial,” ucap Sarah. “Konten yang seharusnya tayang, di-hold sampai jaringan stabil pada hari berikutnya, dan sedikit mengganggu rancangan konten yang sudah disusun,” tambahnya menerangkan.
Pembatasan akses media sosial itu sendiri berlangsung selama empat hari. Pada tanggal 25 Mei 2019, pemerintah menghentikan pembatasan layanan media sosial dan aplikasi berbagi pesan. “Situasi sudah kondusif sehingga akses fi tur video dan gambar pada medsos dan instant messaging difungsikan kembali,” ucap Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara ketika mengumumkan normalisasi akses tersebut.
Pemerintah menyebut, pembatasan media sosial efektif dalam menangkal hoaks dan postingan provokatif. Melalui evaluasi yang dilakukan, terdapat pengurangan signifi kan tautan penyebar hoaks selama pembatasan. “Selama masa pembatasan, ada penurunan 50%,” ucap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu. Sebelum pembatasan, muncul sekitar 600 tautan berisi berita hoaks setiap harinya. Namun, setelah keluar kebijakan pembatasan, jumlah tautan penyebar hoaks turun menjadi 300-an tautan— bahkan kini di bawah 100 tautan per hari.
