Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Rabu, 11 Desember 2019
Gratis
Stigma Jidat Hitam
Negeri ini butuh orang-orang yang berpikir jernih. Orang-orang yang secara rasional berpikir holistik sehingga tak membuat gaduh seantero negeri. Salah satunya kita dapatkan dari Suhardi Alius.
Dia adalah mantan Kapolda Jawa Barat. Pangkatnya kini komisaris jenderal. Setelah jadi Kepala Bareskrim Mabes Polri, dia sempat mampir di Lemhanas sebelum mendapatkan penempatan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sebagai Kepala BNPT, semestinya Suhardi menjadi salah satu rujukan penting jika berbicara soal terorisme dan radikalisme. Tapi, media jarang mengutipnya. Media lebih senang mengutip pernyataan-pernyataan yang justru kian membelah bangsa ini. Padahal, soal terorisme dan radikalisme, semestinya Suhardi paling kompeten, setidaknya dipandang dari penempatannya.
Maka, yang muncul kemudian adalah ribut tiada henti. Dari soal cadar, celana cingkrang, hingga jidat hitam. Tentu saja banyak yang keberatan dengan pernyataan-pernyataan menyudutkan itu. Pernyataan yang dipandang sebagai stigma.
Suhardi datang membantah stigma itu. Dia bilang, radikalisme adalah soal pemikiran, bukan cara berpakaian. Dia punya data-data berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya atas radikalisme itu.
Selain itu, jika disebutkan radikalisme agama sebagai sumber aksi terorisme, sejatinya itu bukan satu-satunya. Radikalisme juga terjadi karena ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang dirasakan rakyat saat ini. Ada fakta-fakta kapitalistik yang membuat sebagian orang terpinggirkan dan merasa tak dianggap.
Ketimpangan itu sampai sekarang tidak berhasil kita atasi. Alih-alih mengatasi, sebagian oknum alat negara bahkan memeliharanya dan membuat jurangnya makin dalam. Ada oknum-oknum yang “melacurkan diri” untuk mengawal “penjajahan kapitalistik” di sejumlah titik.
Tidak susah mencari fakta-fakta yang demikian. Berjalanlah ke kawasan-kawasan pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Tengoklah betapa kehidupan masyarakat setempat susah meski daerahnya begitu kaya. Kekayaan wilayahnya dieksploitasi sementara penghuni wilayah hanya bisa gigit jari. Bagaimana mungkin meredam radikalisme dari kondisi semacam itu? Maka, jika kita bicara soal radikalisme, bicaralah secara keseluruhan, memandang dari delapan titik penjuru mata angin, bukan hanya dari satu titik, apalagi jika itu dijadikan titik tumpu melahirkan stigma-stigma yang tak berdasar sama sekali. (*)
Inilah Koran merupakan media cetak yang terbit di Kota Bandung sejak 10 November 2011. Lahir dengan mengusung semangat Jurnalisme Positif, Inilah Koran bertekad untuk mengembalikan peran dan fungsi media sebagai sarana informasi, edukasi dan inspirasi. Inilah Koran juga bertekad menjadi koran nasional yang terbit dari Bandung dengan tagline "Dari Bandung untuk Indonesia".
Anda tidak bisa membeli publikasi, melakukan pendaftaran melalui aplikasi, klaim vocuher melalui aplikasi. Pembelian, pendaftaran dan klaim vocuher dapat dilakukan melalui website.