Hatur Nuhun, Arteria!
JANGAN melulu marah kepada Arteria Dahlan. Ada saatnya kita harus berterima kasih kepada politisi PDIP itu. Kenapa? Salah satunya, kecintaan kita terhadap bahasa ibu, bahasa daerah, akan semakin terungkit.
Di Jawa Barat kita masih cukup beruntung. Bahasa ibu, Bahasa Sunda, terus terpelihara dengan baik. Rerata kecintaan terhadap Bahasa Sunda, setidaknya bisa dimaknai dari penggunaannya, sudah dilakukan sejak kanak-kanak.
Upaya untuk menguatkan Bahasa Sunda, tentu selain Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terus dilakukan. Di Kota Bandung, misalnya, tiap hari Kamis ada program Kemis Nyunda. Semuanya serba Nyunda di hari itu, termasuk bahasa.
Bagus untuk mempertahankan budaya lokal. Bagus untuk membuat masyarakat tidak seperti kacang lupa dengan kulitnya. Kearifan lokal di tengah kebinekaan, harus tetap dijaga.
Negara pun menjaga kearifan lokal itu, termasuk soal bahasa. UUD 1945 mengatur bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional (pasal 32 ayat 2).
Itu sebabnya, negara juga menularkan pendidikan berbasis kearifan lokal itu sejak kanak-kanak. Sejumlah sekolah dasar hingga kini masih menjadikannya sebagai salah satu mata pelajaran. Positif saja, hemat kita.
Tetapi, tidak melulu seperti itu. Ironisnya, salah satu gejala yang kurang baik itu terjadi di tanah leluhur Arteria Dahlan, di Sumatera Barat. Ada kecenderungan sebagian orang tua lebih mendidik kanak-kanak berbahasa Indonesia ketimbang bahasa Minang.
Jika kita sempat berbaur dengan anak-anak setempat, kita takkan kesulitan berkomunikasi. Selain rumpunnya memang lebih dekat ke Bahasa Melayu yang jadi induk Bahasa Indonesia, sebagian lain karena memang sejak kecil dibiasakan berbahasa Indonesia. Bahasa Minang? Sebagian –mungkin sebagian kecil—malah tak bisa berbahasa Minang.
Maka, hiruk-pikuk soal Arteria Dahlan, sejatinya bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali sungguh-sungguh penggunaan bahasa ibu. Betapapun, bahasa daerah, bahasa lokal, bahasa ibu, adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara. Nusantara yang seluas Indonesia, bukan Nusantara se-Sepaku-Kutai Kartanegara.
Tentu saja, dalam hal penggunaan bahasa daerah, ada tempat yang tepat. Dalam rapat-rapat resmi, rapat pemerintahan, sepatutnyalah menggunakan Bahasa Indonesia. Sesekali nyeletuk dalam idiom daerah, tak apa-apa. Apalagi idiom yang umum, kira-kira bisa dimengerti banyak orang. Tak perlu takut pula jika ada yang nyelutuk: ganti itu Pak! Dalam konteks itulah, kita berterima kasih kepada Arteria Dahlan. Konteks bagaimana menggelorakan kembali bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Hatur nuhun, Arteria. Ups, agar bisa dimengerti semua orang, baiknya kita ganti: terima kasih, Arteria! (*)