Kehadiran teknologi digital dan kemajuan internet, membuat karyawan bisa bekerja di mana saja. Bahkan tanpa harus ke kantor. Lalu, masih perlukah adanya kantor secara fisik? Dina berpendapat, ya, masih diperlukan. Hanya saja fungsinya berubah. Di masa depan, kantor akan menjadi representatif dari sebuah perusahaan. Kantor bisa menjadi lounge, tempat meeting point yang membahas kinerja kantor, dan bertemu klien.
Dilansir dari www.forbes.com tentang “Kantor Masa Depan”, kantor bisa menjadi nilai jual bisnis. Misalnya ketika ada investor yang ingin menanamkan modal. Sebelum tanda tangan kontrak, mereka pasti ingin melihat bagaimana kantornya dan cara operasionalnya.
Begitu juga dengan para pelamar pekerjaan. Mereka biasanya akan googling tentang bagaimana dan di mana kantornya. Memang ada pilihan untuk bekerja mobile.
Akan tetapi kehadiran kantor bisa menjadi salah satu keyakinan bahwa perusahaan pilihannya bukan fiktif.
Era digital ternyata berpengaruh pada landscape kantor. Jika dulu tipe kantor cenderung tertutup, kecil, dan sempit, kini ruang kantor berubah menjadi lebih terbuka, luas, dan berwarna. Lebih modern, katanya.
Akan tetapi, kantor yang terlalu “terbuka” ternyata juga ada sisi negatifnya. Katanya, privasi karyawan menjadi hilang. Akibatnya, bukan malah meningkatkan produktivitas, tapi justru membuat karyawan resah.
Terlalu bising, terlalu banyak pendapat, bahkan virus penyakit berterbangan menjadi alasan yang mengemuka.
Bukan berarti kantor konvensional yang cenderung “tertutup”, adalah baik. Beberapa tahun lalu, desain seperti ini mungkin tidak ada masalah. Tapi di era digital sekarang tidak bisa lagi dilakukan. Kantor semacam ini cuma cocok untuk mereka yang sifatnya individual. Padahal saat ini karyawan dituntut untuk lebih mengandalkan kolaborasi.
Nah, di sinilah butuh sebuah keseimbangan. Boleh dibuat ruang-ruang terbuka. Tapi keheningan dan privasi masih tetap diperlukan.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.