Tampilkan di aplikasi

Jangan takut anak berolahraga ekstrem

Majalah Intisari - Edisi 674
29 Oktober 2018

Majalah Intisari - Edisi 674

Sepak bola termasuk olahraga rentan cedera. / Foto : Jcomp _ Freepikk

Intisari
Beberapa orangtua seperti ketakutan dengan risiko yang akan terjadi manakala sang buah hati menggemari olahraga ekstrem. Namun, selain memiliki beberapa keuntungan, olahraga ekstrem ternyata risikonya lebih tertakar dibandingkan olahraga populer lainnya karena justru risikonya yang tinggi itu. Alhasil, peralatan pendukung pun mampu meminimalkan risiko. Namanya Kevin. Waktu itu usianya sekitar 15 tahun.

Namun dengan senangnya ia bolak-balik mengantre flying fox di objek wisata Umbul Sidomukti Ungaran. Saya sendiri ngeri mencobanya. Hanya karena penasaran dan embel-embel sebagai yang tertinggi di Indonesia (70 meter dari permukaan) maka saya memberanikan diri mencoba. “Anaknya memang bandel dari kecil.

Sudah berapa ‘tato’ menempel di kakinya. Untung anak laki-laki,” kata bapaknya. Meski waswas, sang bapak hanya bisa berpesan untuk berhati-hati. Tak banyak anak seperti Kevin. Sedari kecil sudah tertarik dengan aktivitas pemicu adrenalin. Iklim di Indonesia juga belum cocok dengan keberadaan anak seperti Kevin.

Membimbingnya, memberi arahan, melatihnya. Lalu muncullah juara dunia di cabang olahraga ekstrem. Tidak seperti di AS, yang meski sekarang ini kebebasan anak-anak terbatas atas nama keselamatan, anak-anak bisa berpartisipasi dalam olahraga ekstrem kapan saja di usia yang lebih muda. Seperti Jett Eaton yang pertama kali diundang untuk berkompetisi di Mega-Ramp (olahraga ekstrem untuk skateboard atau sepeda BMX)dalam acara Big Air di ESPN X Games ketika ia berusia 13 tahun.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI