Tampilkan di aplikasi

Anak negeri yang membangun farmasi

Majalah Intisari - Edisi 683
1 Agustus 2019

Majalah Intisari - Edisi 683

Awalnya pembuat jejamuan tradisional, kini menjadi industri farmasi terkenal. / Foto : LUVQS PIXABAY

Intisari
Jika hari ini Anda melintas di jalan raya dan melihat apotek bernama “Kimia Farma”, mungkin Anda tidak pernah membayangkan bahwa cikal bakal perusahaan itu sudah sejak 200 tahun silam. Tepatnya, pada 1817 saat pemerintah Belanda mendirikan NV. Chemicalien Handle Rathkamp & Co.

Inilah pabrik farmasi pertama yang didirikan di Hindia Belanda. Sejarah pabrik itu kemudian terhubungkan oleh keberadaan tanaman kina yang dikembangkan oleh Frans Wilhelm Junghuhn (1809-1864).

Dokter dan peneliti berkebangsaan Jerman yang amat berjasa dalam pembudidayaan tanaman kina di Jawa Barat. Karena memang bukan tanaman asli Indonesia, kina didatangkan antara lain dari Bolivia. Penanamannya harus di lahan yang sesuai dengan perlakuan khusus pula.

Jughuhn lah yang kemudian menemukan lokasi pembudidayaan yang cocok di Pengalengan, Bandung Selatan. Keberadaan kina di Nusantara tak lepas dari obesesi pemerintah Belanda untuk menguasai pasaran kina di Eropa.

Setelah pembudidayaan kina dinilai berhasil, maka berdirilah Bandoengsche Kinine Fabriek N.V pada 1896. Pabrik kina ini menyerap seluruh bahan baku berupa kulit kina dari perkebunan di Pengalengan dan Lembang.

Perkinaan mencapai puncak kejayaan jelang Perang Dunia II, ketika produksi kina di titik tertinggi. Dengan total lahan seluas 18.000 hektare, lahan-lahan di Tanah Parahyangan memproduksi 11.000-12.000 ton kulit kina kering.

Dari jumlah itu pun, hanya 4.000 ton yang diolah Bandoengsche, sisanya diekspor. Tak heran kalau Hindia Belanda mensuplai 90 persen kebutuhan kulit kina dunia.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI