Tampilkan di aplikasi

Cina-Madura, sudah enam generasi jadi muslim

Majalah Intisari - Edisi 688
27 Desember 2019

Majalah Intisari - Edisi 688

Sebagian dari enam belas makam Cina bermarga Lauw atau Liu,

Intisari
Dalam Bijdragen to de kennis van Residentie Madura (1858) yang terbit dalam Tijdschrift voor Nederlandshe Indie, J. Hageman menyebutkan bahwa sejak Tirta Negara berkuasa menggantikan Tjakranegara II pada tahun 1751, kata Sumenep digunakan secara resmi sebagai arti “air yang menetap mengendap” – bezonke water.

Saat ini, Sumenep terkenal dengan julukan kota batik, kota ukir, bahkan yang terbaru adalah kota keris. Di kota tua ini terdapat dua bangunan ikonik berarsitektur paduan langgam Jawa, Arab, Cina, dan Eropa: Masjid Jami dan Keraton Sumenep. Masjid Jami (1779-1787) dan Keraton Sumenep (1781) dibangun oleh Panembahan Sumala (Sumolo).

Pada masa sebelumnya, Tirta Negara dan istrinya (Gusti Raden Ayu Rasmana) telah membangun Keraton Dhalem atau Keraton Pajagalan mulai tahun 1751-1762. Panembahan Sumala dikisahkan menunjuk arsitek dari Cina, yang dikenal masyarakat setempat sebagai Lauw Piango untuk merancang desain masjid dan keraton Sumenep. Karya sang arsitek masih dapat Anda lihat saat ini! Para penjaga Masjid Jami dan Keraton secara turun temurun mengetahui tentang sang arsitek.

Mereka juga menyebutkan, Lauw Piango dimakamkan di komplek pemakaman Cina yang terletak di Desa Pangarangan. Safiudin (56) adalah juru kunci makam yang mewarisi jabatannya dari sang ayah. Tak banyak informasi yang bisa ia sampaikan mengenai makam arsitek yang konon datang ke Sumenep pada tahun 1740 pasca-peristiwa “Chineesche Moord” pembunuhan orang-orang Cina di Batavia itu.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI