Tampilkan di aplikasi

Imunoterapi, asa baru penyintas kanker

Majalah Intisari - Edisi 690
5 Maret 2020

Majalah Intisari - Edisi 690

Imunoterapi menjadi opsi pengobatan dengan efek samping lebih minim daripada kemoterapi dan terapi target. / Foto : KATARZYNA BIALASIEWICZ_123RF

Intisari
Tetty Lidiawati Suwardhana masih ingat ketika kali pertama ia didiagnosis kanker, Oktober 2014. Semula, ia hanya berniat melakukan general check up. Hasilnya, ada temuan polip di rahim Tetty, sehingga perlu dikuret. Perempuan 50 tahun ini tak berpikir akan mengidap kanker, meski ibu dan saudara perempuannya terkena kanker payudara. Begitu tindakan dilakukan, tim medis menemukan kanker di rahim Tetty. Diagnosanya kanker serviks.

Operasi pengangkatan indung telur dan serviks direkomendasikan. Pikir Tetty, agar tidak buang waktu, segera saja ia setujui. Sesedikit apapun keluhan pasca operasi, Tetty patuh kontrol ke dokter. Padahal, mentalnya saat itu masih lemah untuk mendengar hasil pemeriksaan berkala. Lebihlebih, saudaranya meninggal satu bulan sebelumnya karena kanker.

Tahu belakangan, dokter yang biasa menangani keluarga Tetty cukup terkejut dengan info diagnosis kanker serviks padanya. Dengan saran sang dokter, sambil menguatkan hati, Tetty kembali memeriksakan diri di sebuah rumah sakit di Jakarta. Hasilnya, masih ditemukan sel kanker di kelenjar getah bening. Padahal, hasil operasi menyatakan kondisi Tetty sudah bersih dari sel kanker.

Suami dan anakanaknya berpikir, mungkin sampel pemeriksaan kanker yang terambil hanya bagian yang bersih. Teman suaminya yang juga dokter penyakit dalam menyarankan mencari second opinion. Tetty setuju. Diagnosa kedua menunjukkan Tetty bukan terkena kanker serviks, melainkan uterine cancer dan endometrial cancer, stadium III c.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI