Pandemi meluluh-lantakkan dunia pariwisata. Pembatasan mobilitas dan bahkan penutupan sebuah negara membuat perjalanan wisata anjlok. Siasat yang dilakukan operator wisata adalah menggelar tur virtual. Berharap ketika pandemi usai, tur virtual tak ikutan usai. Ia bisa menjadi pendamping tur fisik.
“Besok sarapannya carte suara resepsonis sebuah hotel berbintang di Yogyakarta awal ya, Pak,” begitu ala Februari 2021. Hari pertama menginap di sini, saat sarapan saya hanya menjumpai beberapa tamu. Padahal, di masa normal hampir susah memperoleh tempat strategis untuk sarapan di hotel ini.
Saya bisa memaklumi jika sarapan diubah dari ala prasmanan menjadi ala carte. Dengan porsi yang sudah dikurangi saja, nyatanya makanan masih banyak yang berlimpah. Tak tersentuh. Bahkan ada yang tak dilirik. Hanya ada tamu yang tak sampai sepuluh orang pagi itu. Ketika hari kedua sarapan di tempat yang sama dengan model ala carte tadi, tamu semakin berkurang.
Hampir setahun pandemi Covid-19 berlalu, sektor pariwisata menjadi satu dari sekian sektor yang terpukul. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, ada sekitar Rp85 triliun pendapatan pariwisata Indonesia tersapu pandemi. Industri hotel dan restoran telah kehilangan pendapatan hampir Rp70 triliun karena perjalanan wisata benarbenar terhenti, sementara operator penerbangan dan tur hanya bisa nanar menatap hilangnya pendapatan Rp15 triliun.
Jika dibandingkan dengan Mei 2019, Badan Pusat Statistik mencatat ada penurunan kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia sebesar 86,9 persen. Jika diangkakan itu “hanya” sebesar 163.646. Sementara dari Januari hingga Mei 2020, Indonesia mencatat kunjungan wisman hanya 2,9 juta, turun 53,56 persen dari periode yang sama tahun lalu.
