Tampilkan di aplikasi

Perempuan Keraton dalam perubahan zaman

Majalah Intisari - Edisi 703
8 April 2021

Majalah Intisari - Edisi 703

GKBRAy Adipati PA X mencoba mengenalkan “batik naskah” ke masayarakat. / Foto : DOK. DR. SRI RATNA SAKTIMULYA, M.HUM

Intisari
Dari manuskrip yang ada, perempuan keraton sejak dulu sudah sejajar dengan laki-laki. Mereka punya peran yang tak bisa diremehkan begitu saja. Bahkan beberapa perempuan memegang jabatan politik. Dalam bahasa Sansekerta, wanita dan pria memiliki arti yang sejajar. Wanita berasal dari vanita. Akar katanya, van yang berarti tercinta, istri, perempuan, anak gadis. Sementara pria berasal dari kata priyá. Artinya, yang tercinta, kekasih, yang disukai, yang diinginkan, dan sebagainya.

Pada era Jawa Kuno, di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki laki-laki maupun perempuan. Jabatan itu mulai dari raja atau ratu, putra atau putri mahkota, rakai (penguasa wilayah/ watak), pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa seperti hulu wanua (pengawas desa), huluair (pengawasa saluran air), wariga (ahli perbintangan), dan seterusnya.

Kendati demikian, dalam perkembangan kebudayaan, kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan tak selalu sama. Gender dikonstruksi secara sosial dan budaya. Dalam budaya Jawa kita mendengar kerata basa wanita sebagai wani ditata (berani diatur).

Bukan sekadar kanca wingking. Menurut Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum, berdasarkan informasi dari sejumlah manuskrip kuna (abad ke-19), diperoleh gambaran bahwa perempuan pada masa lalu tidaklah sekedar sebagai kanca wingking. Memang secara nyata tidak diposisikan sebagai pemimpin dan penentu kebijakan, namun senyatanya peran perempuan cukup tinggi dan berpengaruh dalam mewujudkan keberhasilan suatu rencana atau tujuan sesuai visi-misi Sang Raja sebagai patron.

“Dari sejumlah babad (cerita sejarah bercampur sastra), antara lain Babad Ngayogyakarta dan Babad Pakualaman, diperoleh informasi bahwa di balik kesuksesan seorang tokoh pemimpin, terdapat perjuangan para ibu dan neneknya. Ada pun peran permaisuri atau istri lebih ke pencipta suasana damai, sesuai dengan sebutan perempuan adalah wanita dan wadon,” kata - Penghageng Urusan Widyapustaka Pura Pakualaman ini.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI