Tampilkan di aplikasi

Guru-guru muda yang akhirnya jadi jenderal

Majalah Intisari - Edisi 704
19 Mei 2021

Majalah Intisari - Edisi 704

AH Nasution dengan rekan sesama guru di Tanjung Raja Sumatra Selatan tahun 1940

Intisari
Ilmu pengetahuan tidak lebih penting daripada baris-berbaris di zaman pendudukan Jepang. Latihan perang-perangan dianggap pimpinan militer Jepang jauh lebih penting daripada praktikum di laboratorium. Kualitas pendidikan di zaman Jepang terbilang merosot. Salah satu sebabnya jumlah guru berkurang. Waktu itu, guru-guru kompeten berkebangsaan Belanda dimasukan ke dalam kamp tawanan perang oleh militer Jepang.

Memang ada usaha penambahan guru di zaman Jepang, namun guruguru Indonesia yang bukan musuh Jepang pun kemudian hilang tak bisa masuk kelas atau mengurus sekolah. Dibukanya lowongan calon perwira tentara buatan Jepang bagi pemuda Indonesia juga ikut mengurangi jumlah guru. Jepang jauh lebih banyak mengambil pemuda untuk dijadikan perwira dibanding Belanda.

Ambil kembali si Haris! Beruntunglah Abdul Haris Nasution (1918-2000). Di tahun 1932 dia berhasil lulus dari sekolah dasar tujuh tahun yang membuatnya bisa berbahasa Belanda (Hollandsch Inlandsche School, disingkat HIS). Bagi kebanyakan kawan sebayanya ijazah HIS sudah cukup untuk menjalani hidup di zaman kolonial itu.

Nasution yang masih remaja 14 tahun itu punya pemikiran lain dan memilih merantau ke Bukittinggi. Di mana terdapat sekolah guru pribumi (Hollandsch Inlandsch Kweekschool disingkat HIK). Sebuah sekolah begitu mentereng yang di zaman kolonial dikenal pula sebagai Sekolah Raja. Nasution diterima di sekolah yang 19 tahun sebelumnya, pada 1913, telah meluluskan pemuda cerdas bernama Sutan Ibrahim alias Pahlawan Nasional Tan Malaka. Sekolah milik pemerintah itu menyediakan asrama gratis dan uang saku 10 sen per minggu dan jika lulus akan bisa menjadi guru sekolah dasar.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI