Bagi Sukarno, sepeda nyatanya tak sekadar jadi alat transportasi. Sepeda adalah alat yang mengantarkannya pada sebuah cita-cita tentang masa depan rakyat Indonesia. Sepeda sudah pasti menemani Sukarno dalam perjuangan untuk menuju cita-citanya itu. Sudah bukan hal aneh jika sepedanya pernah dikuntit oleh mata-mata pemerintah kolonial.
Sukarno sudah bisa naik sepeda sejak remaja, ketika dia masih bersekolah. Benda bernama sepeda setidaknya adalah saksi bagaimana Sukarno melewati masa pubernya. Dengan sepeda Sukarno pernah memboncengkan seorang gadis bernama Rika Melbuyseen, gadis pertama yang diciumnya, pada suatu sore dan tanpa sengaja menabrak bapaknya. Bersama gadis berdarah Eropa dan naik sepeda pada awal abad XX, tentu menjadi hal yang luar biasa untuk remaja macam Sukarno di zaman itu.
Mengantarkannya kepada Marhaen. Setelah berkuliah di Bandung, pada Technische Hoogschool (sekolah tinggi teknik yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung), sepeda kerap menemani Sukarno. Entah pergi kuliah, ke rumah kawan atau ke tempat mana di Bandung untuk mengusir penat. Sepeda membawanya pula pada pertemuan bersejarah bagi Sukarno, dan kelak bagi pengikut spiritualnya.
Suatu hari, sekitar 1920-an, Sukarno yang sedang tidak kuliah bersepeda hingga ke Bandung bagian selatan, yang dipenuhi sawah-sawah. Daerah itu adalah persawahan di Cigelereng, Cibintuni. Petani yang sibuk dengan sawahnya pun jadi pemandangan menarik yang membuat Sukarno berpikir. Dilihatnya, petani muda dengan pakaian lusuh mencangkuli sawahnya yang sangat kecil, kurang dari sepertiga hektare. Sukarno mendekatinya dan bertanya dalam bahasa Sunda, bukan untuk cari tahu siapa si petani itu tapi padi siapa yang dia kerjakan sawah itu.
