Suatu malam pada bulan November 1965, cukup larut, Pipit Rochijat Kartawidjaja atau biasa disapa Pipit diminta ayahnya menjemput tetangga mereka, Haryo, untuk dibawa ke rumah. Tapi setelah Pipit mengetuk pintu berkali-kali, tak ada jawaban dari rumah pria yang disapanya Pak Haryo itu. Entah takut, entah mereka sudah tertidur pulas, Pipit sendiri tak tahu. Ia pulang dengan tangan hampa.
Keesokan harinya, ayah Pipit sendiri, Kartawidjaja, yang mendatangi rumah Haryo. Hari itu juga Kartawidjaja segera mengungsikan Haryo dan keluarganya ke Surabaya. Santer terdengar kabar bahwa Haryo akan dibunuh sebab statusnya sebagai aktivis Serikat Buruh Gula (SBG), organisasi buruh onderbouw PKI. Pipit yang saat itu masih SMA, tentu saja kebingungan. Mengapa ayahnya justru menyelamatkan orang-orang yang membikin susah keluarganya selama bertahuntahun dan telah ia anggap sebagai musuh itu?
Bara yang jadi api dendam. Kebingungan Pipit bukan tanpa alasan. Ayahnya, Kartawidjaja, adalah direktur pabrik gula di Ngadirejo, Kediri, dan mulai bertugas sejak 1959. Sebagai direktur, ia bertanggung jawab memaksimalkan hasil produksi dan mengelola sumber daya manusia untuk mencapai hasil produksi tersebut, termasuk tentu saja para buruh.
Para buruh di pabrik gula Ngadirejo tidak tergabung dalam satu organisasi saja. Selain SGB ada pula Kesatuan Buruh Gula (KBG) yang menginduk pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Sarikat Buruh Gula Muslimin Indonesia (Sarbumusi) yang terikat pada Nahdlatul Ulama (NU). Kendati Belanda telah angkat kaki sejak 1949 dan pabrik-pabrik gula telah dinasionalisasi sejak 1959, budaya feodal masih saja mengakar kuat di dalam tubuh perusahaan. Saat itu, para pekerja di pabrik gula masuk dalam dua kategori besar, yakni pegawai dan buruh.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.