"Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disuka oleh pemerintah Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti akan merdeka.” Kalimat tersebut diucapkan WR. Soepratman dengan suara pelan namun tegas kepada Oerip Kasansengari yang menjenguknya pada 15 Agustus 1938.
Kondisi WR. Soepratman saat itu sangat memprihatinkan. Dengan tubuhnya yang kurus hanya bisa terbaring lemah di atas dipan sederhana di sudut kamar sempit rumah Roekijem Soepratijah kakak tertuanya di Jln. Mangga 21 Tambaksari, Surabaya. Sakit paru yang menggerogoti tubuh sang komponis sejak beberapa tahun sebelumnya membuat tubuhnya makin hari makin lemah. Kondisi fisik makin memburuk tak lepas dari kejadian seminggu sebelumnya.
Pada 7 Agustus 1938, ketika Soepratman memimpin menyanyikan lagu “Matahari Terbit” bersama anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) di studio radio Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) Jln. Embong Malang, Surabaya. Acara di radio yang menjadi cikal bakal berdirinya radio RRI tersebut juga disiarkan langsung dan terdengar ke seluruh nusantara. Akan tetapi acara itu diketahui oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau dinas intelijen Belanda.
Lalu dengan cepat PID datang ke NIROM kemudian langsung menangkap Soepratman dan di gelandang ke LP Kalisosok. Tapi karena tak ditemukan kesalahan, setelah lima hari ditahan Soepratman dilepaskan. Tekanan mental karena selalu dikuntit oleh PID sudah lama dialami. Sejak dia mengumandangkan lagu “Indonesia Raya” pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, gerak-geriknya menjadi incaran petugas kemanan. Lagu ciptaannya tersebut dianggap menggelorakan semangat rakyat Indonesia untuk menuju kemerdekaan.
