Tampilkan di aplikasi

Sadrach, kiai “pendiri” Gereja Kristen Jawa

Majalah Intisari - Edisi 711
1 Desember 2021

Majalah Intisari - Edisi 711

Bangunan gereja yang tanpa simbol-simbol gerejani pada umumnya. Atap bertumpuk tiga mengingatkan Masjid Agung Demak.

Intisari
Sadrach sudah dikenal sebagai penginjil lokal yang memilih cara berbeda dibandingkan para misionaris Belanda. Kiprahnya ini harusnya membukakan mata bahwa Kristen tidak identik dengan Belanda. Sadrach meracik Kristen dengan bumbu lokal.

Bila kita melihat sosok bangunan Gereja Kristen Jawa Karangjoso Langenrejo, Kec. Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dari luar, apa yang dikatakan Mas Noor dalam novel yang menceritakan kehidupan Ahmad Dahlan itu memang benar adanya. Jika tidak ada plang yang menyebutkan bahwa bangunan yang didirikan Sadrach pada 1871 itu gereja, rasa-rasanya hampir semua orang menyangka itu rumah tinggal. Atau bagi yang pernah melihat Masjid Agung Demak, pikirannya lantas mengira ini bangunan masjid.

GKJ Karangjoso memang sekilas mirip dengan Masjid Agung Demak dengan atap yang bertumpuk. Tidak ada penanda kubah layaknya masjid pada umumnya. Begitu juga dengan GKJ Karangjoso ini. Tak ada bentuk salib sebagai penanda ini sebuah gereja seperti pada bangunan gereja-gereja di Indonesia. Di puncak atap bangunan GKJ Karangjoso malah ada anak panah dan cakra. Dalam dunia pewayangan, keduanya adalah senjata milik Arjuna (anak panah pasopati) dan Kresna (cakra).

“Pasopati itu senjatanya Arjuna, untuk mengalahkan kejahatan. Cakra itu senjatanya Kresna, untuk mengalahkan kejahatan dan membuka jati diri orang yang menyamar. Nah, Sadrach menghayati bahwa Isa Al masih, Yesus Kristus, itu semacam pasopati dan cakra. Untuk mengalahkan kejahatan, untuk membuka kedok kejahatan dan mengembalikan ke wujud aslinya,” tutur Pdt Lukas Eko Sukoco, M.Th, dari GKJ Purworejo, Jawa Tengah.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI