Kota pesisir di timur Jawa itu, Pasuruan, jelang akhir abad ke-19 begitu mentereng. Di sana berdiri pusat penelitian gula pertama di Indonesia. Tempat itu kelak melipatgandakan keuntungan Belanda dari bisnis gula dengan varietas tebu hibrida. Persis di kota seperti itu, Kwee Thiam Tjing lahir pada 1900. Di tahun sekitar pergantian abad, Pasuruan berangsur-angsur ditinggalkan karena cuaca panas.
Para keluarga Belanda pesohor gula mencari tempat yang lebih sejuk dan mulai membuka kota kecil ke arah selatan, Malang. Arief Widodo Djati, periset biografi Kwee mengatakan bocah Kwee mungkin hanya satudua tahun tinggal di Pasuruan. Selebihnya, ikut pindah bersama sang ayah-ibu ke Malang. Di Malang, keluarganya tinggal di Kota Lama. Sementara, ayahnya di bekerja di Pabrik Gula Kebon Agung.
Syahdan, memasuki alaf ke-20 Malang jadi lebih besar ketimbang Pasuruan. Pribadi Kwee muda dibentuk di kota itu. Dia sering bergaul dan datang ke societeit orang Belanda. Kwee tumbuh di kota kosmopolitan. “Di Malang, hubungan antar ras memang lebih cair dan minim prasangka,” kata Arief.
Kwee lantas tumbuh sebagai jurnalis berbekal sudut pandang kosmopolitanisme kelas wahid. Sebagai jurnalis, Kwee emoh hanya bekerja di satu koran. Ia akan pindah tempat bila redaksi koran itu tak lagi independen atau pemikirannya berseberangan dengan Kwee. Seperti saat Kwee ditawari bekerja di Mata Hari, koran asal Semarang milik raja cukong Tionghoa di Hindia Belanda, Oei Tiong Ham. Pada 1934, Oei Tjong Hauw, salah satu anak Oei Tiong Ham, ingin punya media sebagai corong politik. Dibentuklah Mata Hari.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.