Tampilkan di aplikasi

Di balik penaklukan sang singa jemawa

Majalah Intisari - Edisi 726
2 Maret 2023

Majalah Intisari - Edisi 726

Setahun berlalu usai Hindia Belanda jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon. Saat itu, di seruas jalan di Bandung, tampak bus-bus berjejal disesaki penumpang. Mereka adalah orang Belanda yang hendak diinternir. Kekalutan menyelimut. Mereka tak tahu hendak dibawa ke mana oleh balatentara Jepang. / Foto : DJAWA BAROE

Intisari
Suatu hari pada 1943. Saat itu, adalah kali pertama bagi Pans Schomper dibawa ke kamp interniran. “Semua pria berusia 16 tahun lebih harus berkumpul dengan barang bawaan sesedikit mungkin,” tulis Pans dalam Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Seorang Pedagang Telur (1996), memoar yang ia tulis bertahun kemudian. Untuk menguatkan hati, seraya mereka menyerukan “Wilhelmus” –lagu kebangsaan Belanda.

Suara bus berderu-deru. Mereka berangkat. Usai tiba di lokasi yang dituju, ternyata kamp dikelilingi pagar tinggi. Para penjaga orang Jepang bersenapan dan bersangkur. Di atasnya terdapat dinding pemisah berkawat duri. “Kami harus berbaris dekat gapura di mana diadakan pencatatan,” tulis Pans.

Kamp itu bekas sekolah, terletak di seruas jalan di Bandung. Kenangnya, saban pagi para internir wajib membungkuk ke arah matahari terbit, memberi hormat ke arah Tenno Heika sang Kaisar Jepang. Pans sendiri lahir pada 27 Oktober 1926 di Batavia dengan nama Frans Schomper. Tapi, sejawat bumiputeranya kerap memanggilnya Pans.

Ia adalah salah satu saksi bagaimana Hindia Belanda runtuh pada 1942. Ketika Balatentara Jepang berkuasa, ia dan ribuan orang Belanda lainnya diinternir. Namun, boleh jadi Pans tidak memahami posisinya waktu di dalam percaturan dunia. Mengapa imperium yang telah berkuasa sejak lama bisa runtuh begitu cepat diserang Jepang?
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

INTERAKTIF
Selengkapnya
DARI EDISI INI