Tampilkan di aplikasi

Dari pembantu jurnalis sampai menjadi pemimpin bank

Majalah Intisari - Edisi 733
2 Oktober 2023

Majalah Intisari - Edisi 733

Margono dan keluarga di depan rumahnya di Madiun, 1926. Di barisan depan dari kiri ke kanan: Aria Tahir Tjindarbumi, Siti Soemeni (menggendong bayi), Soetrisno Hendrokusumo, Sumitro (duduk), Sukartini dan Maria Sarah Hendroku-sumo (adik Margono, meninggal 1984). Di belakang mereka berdiri, dari kiri ke kanan: Saroso, Raden Ayu Wirodihardjo, Margono dan Siti Katoemi.

Intisari
Saya merupakan salah seorang dari 14 anak yang dilahirkan oleh seorang ibu. Dihitung dari atas saya nomor enam, tetapi saya anak sulung dari semua yang masih hidup. Kakak-kakak saya termasuk ningrat melarat. Kalau saya sebut kata “ningrat” ini bukan karena snobisme atau ingin saya banggakan. Justru sebaliknya.

Saya tidak begitu suka pada ningrat lama maupun baru dalam masyarakat kita yang memandang rendah kelompok rakyat jelata. Menjelang akhir abad yang lalu sebagai anak berusia 5 tahun, bersama ibu dan adik perempuan saya “pergi jauh” dari desa Bodas Karangjati, Kabupaten Purbolinggo ke ibukota Karesidenan Banyumas.

Ayah saya yang sebelumnya asisten wedana dipindahkan ke ibukota untuk menjadi ajun jaksa kepala di sana. Ia sudah berangkat lebih dulu dengan kakak-kakak saya. Ibu, saya dan adik menyusul kemudian. Saya masih teringat sayup-sayup, bahwa hari itu mendung dan desadesa kebanjiran. Satu-satunya cara pengangkutan ialah dengan tandu. Begitulah kami memasuki kota.

Tidak lama setelah pindah ke kota, saya mulai dipersiapkan untuk masuk sekolah. waktu itu ada dua macam sekolah dasar: sekolah pribumi lima tahun dan sekolah dasar Belanda atau Europese Lagere School (ELS) yang tujuh tahun.

Sekolah pribumi memakai bahasa pengantar Jawa dan merupakan pendidikan final, sedangkan dari ELS ada kesempatan untuk masuk ke pelbagai sekolah menengah. ELS ini hanya ada di derah yang dihuni oleh cukup banyak orang Eropa.

Mengingat kemungkinan meneruskan sekolah, tidak heran bahwa orangtua Indonesia berusaha untuk memasukkan anakanaknya ke sekolah itu walaupun tidak mudah. Soalnya skeolah ini terutama diperuntukkan bagi anak Eropa dan anak-anak yang orangtuanya “dipersamakan dengan orang Eropa”. Sebagian kecil saja tempat tersedia untuk anak-anak Indonesia dari tingkat tertentu.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

INTERAKTIF
Selengkapnya
DARI EDISI INI