Tampilkan di aplikasi

Portugis-Belanda: Kisah perang dagang global di nusantara

Majalah Intisari - Edisi 734
31 Oktober 2023

Majalah Intisari - Edisi 734

Alkisah, awal 1512. Sebuah perahu merapat di kampung muslim Nusatelo di ujung barat daya Pulau Ambon. Akan tetapi, ketika perahu itu makin dekat, para penduduk melihat bahwa di antara awak perahu yang berkulit gelap terdapat beberapa makhluk asing. Mereka tinggi, berkulit terang, berjanggut, dan berpakaian aneh—termasuk helm dari logam dan baju besi. Gawat, mereka juga membawa senjata api! / Foto : NORTH WIND PICTURE ARCHIVES/ALAMY

Intisari
Tatkala Francisco Serrao dan sejumlah kecil orang Portugis yang berada di bawah komandonya menjejakkan kaki mereka di bibir pantai, penduduk menyambut mereka dengan ramah. Rombongan orang Portugis itu tampak lelah, kelaparan, dan kurus.

Apakah sambutan itu bakal sama tulusnya andai mereka tahu bahwa kunjungan orang Portugis pertama ke Ambon itu akan membawa penderitaan bagi mereka dan anakcucu? Sebenarnya, pertemuan penting perdana yang menjadi awal empat setengah abad dominasi Eropa terhadap Maluku sudah terjadi beberapa bulan sebelumnya, yaitu pada Desember 1511 di Pulau Banda.

Setelah menaklukkan Malaka pada tahun yang sama, Alfonso de Albuquerque segera mengurus armada yang terdiri atas tiga kapal kecil untuk berlayar mencari temannya, Kapten Antonio de Abreu, dan salah satu nakhoda kapalnya ialah Francisco Serrao.

Teman dekatnya, ada yang bilang saudara sepupu, Fernao de Magalhaes lebih dikenal dengan Ferdinand Magellan juga berada di atas kapal. Kelak Magellan sohor sebagai komandan armada Spanyol pertama yang berlayar mengelilingi bumi.

Albuquerque pernah melihat peta laut milik orang Jawa yang menunjukkan lokasi Kepulauan Maluku. Untuk ekspedisi yang sudah direncanakan itu, dia berhasil mempekerjakan seorang nakhoda Melayu bernama Ismail. Sebelum berlayar, Albuquerque memberi perintah tegas agar menghindari konflik, berusaha membangun relasi yang baik dengan masyarakat pribumi, serta menghargai adat istiadat mereka.

“Rombongan Abreu akhirnya tiba di Banda tanpa kejadian yang berarti, hanya kehilangan satu kapal yang dinakhodai Serrao, tapi tidak ada korban jiwa. Mereka diterima dengan baik dan selama kurang lebih satu bulan di Banda, taka da satu pun insiden yang terjadi,” demikian tulis Dieter Bartels dalam bukunya, Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku. Jilid II: Sejarah.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

INTERAKTIF
Selengkapnya
DARI EDISI INI