Tampilkan di aplikasi

Dari perundingan ke persetujuan: Cerita dari gedung Linggarjati

Majalah Intisari - Edisi 738
28 Februari 2024

Majalah Intisari - Edisi 738

Sketsa tinta hitam pada kertas berjudul “Oepatjara penandatanganan naskah Linggardjati di Paleis Rijswijk, Djakarta 25 Maret 1947 ” karya Henk Ngantung. Koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta.

Intisari
Linggarjati, titimangsa 12 November 1946, pukul 13.30. Tatkala rehat makan siang, Presiden Sukarno datang dari Kabupaten Kuningan. Saat itu, Prof. Ir. Willem Schermerhorn duduk satu meja makan dan beramah tamah dengan Sukarno, dan bertanya, “Kapan bisa bicara dengan Presiden?” Sukarno menjawab, nanti malam di Kabupaten Kuningan antara pukul 18.00 dan 20.00.

Pernyataan Schermerhorn ini bukan tidak sengaja diutarakan karena maksud diadakannya perundingan di Linggarjati justru agar Sukarno terlibat. Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati mengisahkan, bahwa tinimbang delegasi Indonesia, delegasi Belanda sangat memperhatikan rencana untuk bertemu Presiden Sukarno.

Schermerhorn yang untuk pertama kali bertemu dengan Sukarno di Linggarjati bukan tidak mungkin berpikir, kehadiran dan berbicara dengan Sukarno merupakan kunci diplomasi untuk mencapai Persetujuan Linggarjati.

Kelihatannya ada titik temu pemikiran antara Prof. Schermerhorn dan Laksamana Louis Mountbatten: Sukarno adalah tokoh penentu dalam penetapan kebijakan pihak Indonesia tentang perundingan Indonesia-Belanda, meskipun Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir adalah pelaksananya.

Pukul 18.00 Perundingan Linggarjati pun dihentikan karena delegasi Belanda telah berjanji untuk bertemu dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta di kediaman mereka di Kuningan. Sebelum berangkat Schermerhorn menugaskan Sanders agar merinci pasal-pasal yang masih mengganjal, yaitu Pasal 2 (lama), 9 (lama), dan 16 (lama). Maksudnya, akan menjadi bahan pembicaraan dengan SukarnoHatta.

Dalam diskusi intern mereka di antara delegasi Belanda, atas saran Dr. Hubertus Johannes van Mook, pada Pasal 2 (lama), kata-kata merdeka diganti berdaulat sehingga akan berbunyi, suatu negara berdaulat dan berdemokrasi…”
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

INTERAKTIF
Selengkapnya
DARI EDISI INI