Tampilkan di aplikasi

Di balik serangan umum 1 Maret 1949

Majalah Intisari - Edisi 738
28 Februari 2024

Majalah Intisari - Edisi 738

Soeharto mengklaim keberhasilan TNI menguasai Yogyakarta selama enam jam, awalnya berasal dari idenya. Namun klaim itu dibantah oleh pengakuan perwira-perwira yang pernah menjadi atasannya. Bagaimana tanggapan pihak Belanda sendiri terhadap serangan legendaris itu?

Intisari
Kabar dari tanah air itu diterima dengan suka cita di New Delhi, India. Sebagai menteri luar negeri Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Mr. A.A. Maramis “merasa tertolong” dengan kabar telah dikuasainya selama enam jam ibu kota Yogyakarta oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) pimpinan Letnan Kolonel Soeharto.

“Kabar itu seolah menampar balik pemerintah Belanda di muka dunia…” ujar Batara R. Hutagalung, penulis buku Serangan Umum 1 Maret 1949: Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat. Sejak membatalkan secara sepihak Perjanjian Renville dan menginvasi Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Belanda memang kerap berupaya menafi kan eksistensi Republik Indonesia (RI) di mata internasional.

Para diplomatnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak hentinya menggembar-gemborkan bahwa seluruh unsur RI telah hancur. Termasuk “gerombolan bersenjatanya” yang bernama TNI. “Mereka selalu berusaha memberikan bukti-bukti jika Republik Indonesia tak lebih sebagai pemerintahan buatan Jepang yang tak didukung rakyat sehingga hancur dengan sendirinya,” kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Serangan Umum 1 Maret 1949 membuat logika internasional terhadap Indonesia terbalik. Alihalih mempercayai propaganda politik Belanda, sebagian besar negara berpengaruh seperti Amerika Serikat malah mulai mendesak negeri kincir angin untuk kembali ke meja perundingan.
Majalah Intisari di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

INTERAKTIF
Selengkapnya
DARI EDISI INI