Akhir Januari 2002. Sedari pagi, hujan dan angin kencang menerpa dinding kaca di kantor. Curah hujan pada satu-dua minggu menjelang Imlek memang tinggi. Dan, hari itu, area di sekitar kantor saya digenangi air yang makin meninggi. Terus meninggi seiring curah hujan yang hanya mereda sejenak, lalu kembali mengamuk. Selepas meeting mingguan pada pukul 15:30, saya bersama sebagian besar teman sekantor, bahkan satu gedung, terjebak tak bisa ke mana-mana. Wilayah kami dikelilingi sungai yang meluap, banjir di mana-mana. Kami terpaksa menginap. Tak bisa pulang.
Banjir besar tahun itu begitu membekas. Banjir besar serupa datang lagi pada 2007 dan 2013. Salah satu perkara yang membuat saya gentar tiap langit menggelontorkan air dalam bulir besar-besar adalah mobil saya mogok. Saya pernah dua kali mati mesin di tengah hujan deras malam hari, ketika melintas genangan air yang cukup tinggi. Air mengisi ruang mesin sedan dengan mudah. Mogok. Tengah malam. Sendirian.
Tapi, masak iya saya harus berhenti pulang malam dan tidak nyetir ketika hujan turun? Sehingga, saya ganti “kuda tunggangan” dengan yang ber-ground clearance tinggi. Pilihannya adalah SUV atau MPV. Saya lebih suka SUV karena terasa sama gesitnya dengan mobil hatchback yang biasa saya gunakan. Pasca banjir besar, tidak hanya saya perempuan yang kemudian beralih memakai SUV. Bagi pengguna city car, tidak perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri mengendarai SUV, apalagi SUV jaman sekarang yang canggih, modern dan gampang ‘dipegang’.
Karena dia memiliki kegesitan sedan, pun semudah sedan dalam pengendalian, dengan ukuran yang lebih besar. Dan ternyata, pengalaman mengemudikan mobil besar melahirkan sensasi baru. Ada manfaat yang tak terduga (dan menyenangkan...!!). Buktinya, ketika banjir besar kembali datang di awal 2020 ini. Pemakai SUV seperti saya tak terlalu khawatir lagi terjebak genangan air banjir.
