Muqaddimah. Sahabat Auf bin Malik al-Asyja’i mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal perbuatan anak dan istrinya. Setiap hendak berangkat perang bersama kaum Muslimin, tiba-tiba istri dan anakanak Auf seolah “sepakat” menangis. “Hendak kemana kamu meninggalkan kami?” kira-kira begitulah ratap sedih keluarga Auf.
Karena tak tahan melihat lara keluarganya, akhirnya Auf tak pernah jadi pergi berjihad. Selanjutnya ayat ini turun mengingkari perbuatan keluarga Auf itu. Senada, Ibnu Abbas pernah ditanya tentang ayat di atas. Ia menjelaskan, “Ayat ini turun kepada beberapa keluarga Muslim yang hendak berhijrah namun tak beroleh dukungan dari istri-istri dan anak-anak mereka.
Hingga tiba masa mereka hijrah meninggalkan kota Makkah. Di Madinah, selain melampiaskan kerinduan kepada Nabi Muhammad, rupanya orang-orang itu mendapati beberapa sahabat mereka yang sudah mendalami ilmu fiqh dan ilmu-ilmu lainnya.” Alhasil, orang-orang keluarga mereka.
Mereka merasa tertinggal dari urusan kebaikan hanya gara-gara perilaku istri dan anak-anak mereka sendiri. Hingga turunlah potongan ayat berikutnya “...Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Hakikat Permusuhan. Setiap anggota keluarga memiliki porsi cinta dan kasih sayang masing-masing. Demikian fitrah yang digariskan bagi setiap manusia yang menjalani bingkai kehidupan berkeluarga.
Uniknya, meski keluarga adalah orang-orang terdekat yang patut dikasihi dan dicintai, di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala justru seakan bertindak sebaliknya dengan mengirim sinyal “warning” dalam berinteraksi dengan mereka.
