Ikhtisar
Sebagai putra dari Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi massa Nahdlatul Ulama (NU), dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4 (1999-2001), KH Wahid Hasyim adalah juga salah seorang tokoh besar Muslim Nusantara dan tokoh pendidikan Islam Indonesia dari kalangan dunia pesantren. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, KH Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama Republik Indonesia pertama dalam kabinet pemerintahan Presiden RI ke-1, Soekarno (Bung Karno) bersama Wakil Presiden RI ke-1, Mohammad Hatta (Bung Hatta).
Sejak masih berusia muda, KH Wahid tHasyim sudah turut berkiprah dalam kehidupan sosial-politik di masyarakat dan juga terjun langsung dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah menimba ilmu agama dari berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Makkah, pada usia 21 tahun, KH Wahid Hasyim membuat inovasi dalam dunia pendidikan Islam di kalangan dunia pesantren, sebagai salah satu kontribusi penting dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tak pelak lagi, kiprah, sumbangsih, dan pemikiran KH Wahid Hasyim sangat penting bagi bangsa Indonesia dan juga dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dunia pesantren. Oleh sebab itu, buku ini terasa sangat penting bagi para pembaca dan terutama generasi muda Indonesia untuk lebih mengenal sosok, pemikiran, dan jejak langkah tokoh pendidikan Islam dan sekaligus salah seorang pahlawan nasional Indonesia ini.
Pendahuluan / Prolog
Pengantar Penerbit
“Never leave history”. Jangan pernah kalian melupakan sejarah. Demikian ungkapan terkenal Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan, sekaligus Presiden Republik Indonesia yang pertama. Begitu penting arti sejarah bagi sebuah bangsa, karena di dalam sejarah itulah tersimpan ruh perjuangan yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa agar tetap bisa tegak berdiri di tengah bangsa-bangsa lain. Dalam pidato peringat HUT Proklamasi RI pada tahun 1966, Bung Karno juga mengatakan, “Inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Penganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history. Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi daripada hasil semua perjuangan kita di masa lampau, jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amukamuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.”
Pesan Bung Karno itu penting untuk kita renungkan kembali pada saat ini, agar kita menemukan kembali spirit perjuangan bangsa yang kini tampak semakin redup dan loyo dihantam berbagai persoalan. Apalagi tiap bulan Agustus, Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Dalam kurun sekarang, memang sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai bangsa ini. Kemajuan relatif besar terjadi di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan berbagai pembangunan infrastruktur. Namun pada sisi yang lain, kondisi kita masih parah, seperti penegakan hukum, pendewasaan politik, serta pemberantasan korupsi, prostitusi, dan narkoba. Khusus untuk ketiga hal yang terakhir ini, penting mendapat porsi perhatian yang lebih karena perkembangannya yang luar biasa dahsyat. Efek merusak dari ketiga penyakit ini sangatlah masif. Ia menyerang mulai dari tingkat individu, lalu keluarga, masyarakat, dan akhirnya bangsa. Ibarat kanker ganas, jika kita tidak bisa mengatasi dengan baik, ia akan menyebar dan merobohkan ketahanan bangsa ini dari dalam.
Sayangnya, semendesak dan separah apa pun problem yang kita hadapi dewasa ini, tidak ada jawaban yang bisa diberikan secara instan. Merajalelanya korupsi tidak bisa dihentikan dengan penangkapan koruptor saja. Merebaknya prostitusi tak dapat diselesaikan dengan cara mempermalukan pelaku prostitusi (kalau pun rasa malu itu masih ada!). Demikian pula wabah narkoba tidak bisa dituntaskan dengan melipat para bandar dan penggunanya. Masalah korupsi, prostitusi dan narkoba bukanlah problem yang berdiri terpisah satu sama lain. Ketiganya hanyalah satu bagian saja dari totalitas sistem kehidupan bermasyarakat, berbudaya, dan berbangsa kita hari ini. Ia hanyalah sebuah gejala tentang hilangnya spirit dan arah hidup, dari suatu bangsa. Inilah bangsa yang kehilangan ‘imajinasi’, kehilangan keteladanan. Tanpa api semangat perjuangan dan tanpa arah, hidup pun terasa sumpek. Tidak tahu harus berjalan ke arah mana. Semua orang hanya ingin terkenal, tak peduli dikenal sebagai apa. Citra sebagai sosok yang ‘gaul’ menjadi segalanya. Gaya hidup menjadi ‘agama.’ Rambu-rambu hukum dan norma menjadi anomali. Tujuan menghalalkan cara.
Di tengah panorama pilu bangsa yang seperti itu, menyodorkan kisah keteladanan dari tokoh kita di masa lalu merupakan salah satu jawaban. Dengan menghadirkan kembali biografi para tokoh panutan bangsa kepada anak didik kita di tengah minimnya figur teladan, merupakan alternatif ikhtiar membangun mental bangsa di masa depan. Bahwa di masa lalu, kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar yang sangat patut kita jadikan contoh, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Hasyim Asy’ari, dan Wahid Hasyim. Mereka adalah sosok panutan, yang telah membangun bangsa ini dengan segala kekuatan dan pengorbanan mereka. Yang menarik, hampir semua tokoh besar tersebut, selamanya hidup dalam kesederhanaan, bukan di tengah gemerlap kemewahan duniawi.
Kebesaran mereka dibangun atas dasar prestasi, bukan gaya hidup hedonis pemuja duniawi.
Sosok-sosok seperti itulah yang mesti kita ketengahkan kembali ke hadapan para anak didik kita, pemilik masa depan bangsa ini. Atas dasar pemikiran seperti itulah, Penerbit Marja (grup Penerbit Nuansa Cendekia) kali ini menerbitkan buku biografi Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid, yang ditulis oleh Dr.Miftahuddin. Ketiga tokoh tersebut jelas merupakan figur yang sepantasnya menjadi referensi anak-anak didik kita, para pemuda harapan bangsa. Penerbitan buku ini sekaligus juga dimaksudkan sebagai upaya menghargai jasa para pahlawan bangsa, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”
Selamat membaca.
Daftar Isi
Sampul
Sekadar Mengantarkan: Kiai Wahid Hasyim: Peletak Indonesia sebagai Negara Syar’i
Pengantar Penerbit
Prakata Penulis
Daftar isi
Bab 1. Riwayat Sang Pemimpin
Lahirnya Mudin
Si Santri Kelana
Pencinta Al-Quran
Belajar ke Makkah
Mendirikan Madrasah Nizamiyah
Bertemu Belahan Jiwa
Menjadi Jemaah NU
Memimpin MIAI dan Masyumi
Merumuskan Konstitusi
Menduduki Kursi Menteri
Pemersatu Islam
Tragedi Cimindi
Bab 2. Pengawal Kemerdekaan Indonesia
Membidani Republik
Strategi Kancil
Tujuh Kata Kompromi
Melobi Arab Saudi
Bab 3. Di Antara Perjuangan Bangsa dan Agama
Jepang Mengapresiasi MIAI
Diplomasi Masyumi
Memprakarsai GPII
Berjuang Bersama NU
Muslimat NU Tumbuh Pesat
Misi Persahabatan
Bab 4. Berjuang Lewat Pendidikan
Pembaharuan Pesantren
Pembenahan NU
Arsitek Perguruan Tinggi Islam
Bab 5. Kedekatan Wahid Hasyim dengan Para Tokoh Nasional
Persahabatan Wahid Hasyim dengan Muhammad Yamin
Persahabatan Wahid Hasyim
Persahabatan Wahid Hasyim
Persahabatan Wahid Hasyim
Bab 6. Wahid Hasyim dalam Kenangan
LAMPIRAN
Indeks
Daftar Pustaka
Tentang Penulis