Tampilkan di aplikasi

Buku Marja hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Fenomena Al-Quran

Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim

1 Pembaca
Rp 39.000 15%
Rp 33.150

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 99.450 13%
Rp 28.730 /orang
Rp 86.190

5 Pembaca
Rp 165.750 20%
Rp 26.520 /orang
Rp 132.600

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

"Buku ini dimaksudkan membantu para pembaca awam maupun sarjana, untuk memahami al-Quran melalui perpaduan sejumlah pendekatan: tema-tis, stilistik, dan komparatif. Banyak kajian cenderung menganggap al-Quran tak lebih sebagai kumpulan pemikiran yang tidak tentu arahnya dan membosankan. Pendekatan semacam itu telah mengakibatkan timbulnya serangkaian teori dangkal yang, tidak hanya gagal memetakan dunia al-Quran, namun bahkan menam-bah gagasan rancu ke dalam pemahaman yang sudah terlanjur rancu.

Kajian tentang tema-tema al-Quran merupakan hal baru. Ini mengherankan, mengi-ngat itulah satu-satunya pendekatan yang harus ditempuh untuk mencapai pandangan berimbang mengenai topik apa pun yang diketengahkan al-Quran. Karenanya buku ini menjawab tantangan tersebut, misalnya, tema-tema perennial seperti perang, perkawinan, dan toleransi dalam Islam, merupakan sebagian di antara tema-tema yang telah disalahpahami oleh banyak penulis, dan mereka merasa bahwa al-Quran masih harus dibedah lebih lanjut demi-menemukan tema-tema ini.

Selain kajian tematis, buku ini juga mencakup pengantar umum tentangf wahyu, kedudukan penting al-Quran dalam kehidupan kaum Muslim, dan pembahasan mendalam tentang gaya bahasanya. Aspek-aspek fundamental tertentu dari gaya bahasa al-Quran perlu diperjelas agar bisa mendatangkan manfaat bagi pembaca umum maupun para ilmuwan. Terjemahan al-Quran yang ada saat ini, dengan segala kelebihannya, tetap menyisakan persoalan tak terjawab bagi pembacanya. Bab 12 buku ini, “Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran”, berbicara tentang dua metode penting dalam memahami al-Quran, dan mengulas pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran bukan jiplakan. Bab 13 menunjukkan bahwa memahami beberapa corak gaya bahasa al-Quran merupakan hal yang esensial untuk memperoleh pengertian seutuhnya. Misalnya, apa yang semula dianggap sebagai tata bahasa yang buruk ternyata kemudian menjadi corak yang kokoh dan efektif dalam naskah sastra Arab.

Dalam mengkaji topik-topik yang tengah kita bahas, dirasakan perlunya keharusan untuk membiarkan al-Quran berbicara atas namanya sendiri mengingat begitu banyaknya kontroversi yang mengitarinya, bahkan sekalipun melalui terjemahan."

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Malik Ben Nabi
Editor: M. Arief Hakim

Penerbit: Marja
ISBN: 9786026297358
Terbit: Agustus 2008 , 167 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

"Buku ini dimaksudkan membantu para pembaca awam maupun sarjana, untuk memahami al-Quran melalui perpaduan sejumlah pendekatan: tema-tis, stilistik, dan komparatif. Banyak kajian cenderung menganggap al-Quran tak lebih sebagai kumpulan pemikiran yang tidak tentu arahnya dan membosankan. Pendekatan semacam itu telah mengakibatkan timbulnya serangkaian teori dangkal yang, tidak hanya gagal memetakan dunia al-Quran, namun bahkan menam-bah gagasan rancu ke dalam pemahaman yang sudah terlanjur rancu.

Kajian tentang tema-tema al-Quran merupakan hal baru. Ini mengherankan, mengi-ngat itulah satu-satunya pendekatan yang harus ditempuh untuk mencapai pandangan berimbang mengenai topik apa pun yang diketengahkan al-Quran. Karenanya buku ini menjawab tantangan tersebut, misalnya, tema-tema perennial seperti perang, perkawinan, dan toleransi dalam Islam, merupakan sebagian di antara tema-tema yang telah disalahpahami oleh banyak penulis, dan mereka merasa bahwa al-Quran masih harus dibedah lebih lanjut demi-menemukan tema-tema ini.

Selain kajian tematis, buku ini juga mencakup pengantar umum tentangf wahyu, kedudukan penting al-Quran dalam kehidupan kaum Muslim, dan pembahasan mendalam tentang gaya bahasanya. Aspek-aspek fundamental tertentu dari gaya bahasa al-Quran perlu diperjelas agar bisa mendatangkan manfaat bagi pembaca umum maupun para ilmuwan. Terjemahan al-Quran yang ada saat ini, dengan segala kelebihannya, tetap menyisakan persoalan tak terjawab bagi pembacanya. Bab 12 buku ini, “Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran”, berbicara tentang dua metode penting dalam memahami al-Quran, dan mengulas pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran bukan jiplakan. Bab 13 menunjukkan bahwa memahami beberapa corak gaya bahasa al-Quran merupakan hal yang esensial untuk memperoleh pengertian seutuhnya. Misalnya, apa yang semula dianggap sebagai tata bahasa yang buruk ternyata kemudian menjadi corak yang kokoh dan efektif dalam naskah sastra Arab.

Dalam mengkaji topik-topik yang tengah kita bahas, dirasakan perlunya keharusan untuk membiarkan al-Quran berbicara atas namanya sendiri mengingat begitu banyaknya kontroversi yang mengitarinya, bahkan sekalipun melalui terjemahan."

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Karya ini tidak dapat diselesaikan sesuai dengan bentuk yang diinginkan semula; sebenarnya, ia merupakan rekonstruksi atas gagasan asli yang sudah berantakan. Dalam bentuknya sekarang, ia tidaklah benar-benar memenuhi gagasan awal yang telah kami rumuskan mengenai al-Quran. Pokok persoalan ini seharusnya dibahas dalam sebuah karya yang dibuat dengan upaya yang benar-benar serius dalam waktu yang lama dan dengan pendokumentasian yang benar-benar teliti. Sayangnya, hal itu tidak dapat kami lakukan. Namun, karena meyakini berharganya gagasan dasar yang mengarahkan kerangka besar proyek ini, kami melihat tetap perlunya berusaha mengekspresikannya, walaupun upaya tersebut mungkin tidak memadai. Itulah sebabnya kami berusaha menyatukan fragmen-fragmen dari gagasan asli yang masih ada, di sejumlah lembar kertas ataupun dalam ingatan kami.

Kami percaya bahwa kami telah menyelamatkan unsur-unsur penting karya ini: membangun sebuah metode analitis dalam mengkaji fenomena alQuran. Secara praktis, metode ini berupaya memenuhi dua tujuan: pada satu sisi, ia memberikan kepada pemuda Muslim Aljazair sebuah kesempatan untuk merenungkan secara mendalam dan serius mengenai agama; dan pada sisi lain, menganjurkan suatu upaya reformasi dan pembaruan terus-menerus dalam semangat penafsiran klasik.

Tentu saja, perlu menyadari bahwa di Aljazair, sebagaimana di semua negara Arab, evolusi kultural melewati fase kritis: “Renaisans Muslim” menerima semua gagasan teknisnya, khususnya dari kebudayaan Barat, dan terutama melalui kebangkitan bangsa Mesir. Gagasan-gagasan teknis ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan material baru yang semakin banyak diadopsi kaum muda Muslim, namun ia juga berkaitan, tanpa kentara, dengan kehidupan spiritual masyarakat dimana ia bertumbuh. Kenyataannya, menyolok bahwa kebanyakan kaum muda Muslim sekarang menerima pendidikan agama mereka, dan kadang-kadang bahkan dorongan keagamaan mereka, melalui tulisan-tulisan para spesialis dari Eropa.

Banyaknya kajian keislaman yang muncul di Eropa dari pena para orientalis terkemuka merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Tetapi dapatkah kita membayangkan tempat penting dimana corak kegiatan yang bersibuk diri dengan gerakan pemikiran modern semacam ini hadir di negeri-negeri Muslim? Ternyata, karya-karya para orientalis ini lebih banyak daripada yang mungkin kita duga; kita hanya perlu menunjuk kepada fakta bahwa the Royal Academy of Egypt memiliki seorang ilmuwan Perancis di antara para anggotanya.

Jangkauan “orientalisme” ini dapat juga diindikasikan oleh jumlah dan cakupan tesis-tesis doktoral yang setiap tahun disajikan para intelektual Mesir dan Syria di hadapan Faculty of Paris.

Dalam semua tesis ini, mereka—yang kemudian meraih gelar master dalam bidang kebudayaan Arab dan segera akan menjadi para promotor “Renaisans Muslim”—tidak lupa mendukung pandangan otoritatif para profesor mereka yang berasal dari Barat.

Dengan cara ini, orientalisme menerobos dalam ke relung kehidupan intelektual negeri-negeri Muslim, sekaligus sangat menentukan orientasi kesejarahan mereka. Hal ini, kemudian, justru merupakan krisis mendalam yang melanda kebudayaan kita pada saat ini, yang menimbulkan gema perdebatan dan polemis dimana-mana. Di Mesir, inilah yang terjadi dalam pertarungan antara Zaki Mubarak dan Taha Hussain, sebuah pertarungan yang mengungkapkan drama modern pemikiran Muslim, lengkap dengan keriuhan literernya.

Dalam krisis menyeluruh inilah sebuah aspek berhubungan dengan tujuan kajian ini, yakni, pengaruh karya para orientalis terhadap semangat keagamaan kaum muda lulusan universitas kita—baik melalui bibliografi yang diperlukan maupun melalui afinitas intelektual semata—yang mewajibkan mereka merujuk kepada sebagian sumber-sumber Barat tersebut, bahkan untuk informasi Islam yang bersifat personal. Ternyata, sumber informasi lokal sama sekali bukanlah khazanah kultural mereka sendiri, yang hanya terdapat di sudut terpencil perpustakaan-perpustakaan nasional Eropa.

Tentu saja, dengan berbagai penerbit baru dan kerja intens para intelektual mudanya, Mesir telah menjalankan upaya yang mengagumkan dalam rangka menempatkan perkembangan-perkembangan baru ini dalam pengembangan pemikiran Muslim. Upaya ini termasuk dalam usaha-usaha pembenahan administratif, yang mengakibatkan kebudayaan berada, sekali lagi, di dalam kekuasaan politik. Dimanapun ilmuwan muda Muslim berada—dan ini khususnya berlaku di Aljazair—dia tetap diwajibkan berhubungan dengan para pengarang asing untuk memenuhi kebutuhan intelektual mereka yang baru. Melalui para pengarang ini, mereka mengapresiasi teknik-teknik Cartesiannya—mungkin dengan agak berlebihan. Bahkan ada pula sebagian qadi dan kaum “bersorban” yang turut mengapresiasi kelugasan geometrisnya.

Tentu saja, tidaklah akan ada hal yang tidak mengenakkan dalam hal ini, jika metode-metode orientalisme hanya dimaksudkan untuk tujuan-tujuan ilmiah.

Sayangnya, suatu tendensi politik-keagamaan seringkali tampak jelas dalam karya, yang mengagumkan dalam aspek lain, para spesialis Islam asal Eropa.

Pendeta Fr. Lammens, yang merupakan tipikal “orientalis” non-Muslim, bukanlah satu-satunya orang yang secara terselubung berusaha langsung memojokkan Islam. Paling tidak, dia benar-benar punya nyali untuk, dengan suara keras, meneriakkan kebenciannya baik kepada al-Quran maupun Muhammad Saw. Tentu saja, lebih baik mempunyai sikap fanatis terangterangan seperti ini ketimbang machiavelisme kalap namun diam-diam yang dianut kalangan orientalis lain, yang dengan rapi bersembunyi di balik jubah ilmu pengetahuan.

Mengherankan, menyaksikan rasa puas diri, terutama di Mesir, yang menyambut berbagai gagasan paling liar yang berasal dari universitas-universitas di Barat. Tak diragukan lagi, contoh paling baik yang menggambarkan hal ini adalah hipotesis yang dirumuskan seorang orientalis Inggris mengenai “Puisi Jahiliyah”.1 Pada Juli 1925, hipotesis ini dipublikasikan dalam sebuah majalah yang menyoroti dunia Timur. Pada tahun 1926, Taha Hussain mempublikasikan bukunya yang terkenal, “Fi Syirr al-Jahili”.

ubungan kronologis ini lebih jelas menunjukkan telah terjadinya subordinasi pemikiran pemuka kebudayaan Arab modern vis-a-vis para guru Barat mereka. Tidak ada sesuatu yang sangat ganjil jika, dari momen publikasinya, hipotesis Margoliouth tidak mendapatkan apresiasi mendalam dari majalah-majalah Arab dan juga dari kaum intelektual muda Arab. Dalam kenyataannya, hipotesis ini memperoleh pengukuhan terus-menerus, terutama dalam kajian Dr. T. Sabbagh tentang “Metafora dalam al-Quran”. Penulis ini secara sistematis menolak sepenuhnya untuk mempertimbangkan puisi jahiliyah sebagai ranah filologi Arab.

Dengan demikian, problem yang dihadapi melampaui tataran historis dan literer dan secara langsung menyentuh seluruh sistem penafsiran klasik, yang dibangun justru berdasarkan pembandingan stylistik, dengan mempertimbangkan puisi jahiliyah sebagai ranah yang tak perlu dipersoalkan lagi. Bagaimanapun juga, problem tersebut harus dirumuskan dalam kaitannya dengan evolusi pemikiran Muslim modern, meski mungkin dengan cara yang kurang revolusioner. Dan, tataran penafsiran klasik, harus secara bijaksana dimodifikasi agar mencakup tuntutan pemikiran Cartesian. Hipotesis Margoliouth benar-benar telah memberikan dampak revolusioner kepada problem tersebut, dengan menyelusupkan dirinya sendiri ke dalamnya seperti sebuah letupan dinamit yang mampu menghancurkan seluruh sistem penafsiran.

Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi
Catatan Penerjemahbahasa Inggris
Pengantar
Pendahuluan
Bagian Pertama: Fenomena Keagamaan
     Bab 1 Fenomena Keagamaan
          Sistem Fisik
          Sistem Metafisik
     Bab 2 Gerakan Kenabian
          Kenabian
          Kenabian-semu
          Nabi
          Jeremiah
          Fenomena Psikologis Jeremiah
          Karakteristik Kenabian
Bagian Kedua: Islam — Kriteria Pertama: Pembawa Risalah
     Bab 3 Asal-usul Islam: Menguji Sumber-sumber
     Bab 4 Pembawa Risalah
          Era Pra Al-quran
          Periode Al-quran
     Bab 5 Pola Pewahyuan
     Bab 6 Keyakinan Pribadi Muhammad
          Kriteria Fenomenal
          Kriteria Rasional
     Bab 7 Posisi Kesadaran Subjektifmuhammaddalam Fenomena Wahyu
     Bab 8 Kesadaran Subjektif Muhammad
Bagian Ketiga: Kriteria Kedua: Risalah
     “Bawah-sadar” Dalam Fenomena Al-quran
     Bab 9 Karakteristik Fenomenal Al-quran
          Berangsur-angsurnya Pewahyuan
          Unit Kuantitatif
          Aspek Sastra Dalam Al-quran
          Kandungan Pesan Al-quran
          Hubungan Antara Al-quran Dan Bibel
          Kisah Yusuf Versi Bibel
          Kisah Yusuf Versi Al-quran
          Studi Komparatif Kedua Versi
          Tabel Gagasan Al-quran dalam Cerita Yusuf
          Pengujian Kritis
               Menguji Hipotesis Pertama
               Menguji Hopotesis Kedua
     Bab 10 Beberapa Aspek Penting Al-quran
          Antisipasi
          Yang Tak Terpahami
          Oposisi
          Koinsidensi
          Metafora Al-quran
          Nilai-nilai Sosial Dalam Al-quran
          Kesimpulan
Indeks