Tampilkan di aplikasi

Buku MNC Publishing hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Cerita - Cerita dari Empunala

1 Pembaca
Rp 29.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 87.000 13%
Rp 25.133 /orang
Rp 75.400

5 Pembaca
Rp 145.000 20%
Rp 23.200 /orang
Rp 116.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sudah menjadi sunnah semesta bahwa yang abadi adalah ketidak-abadian, yang tidak berubah adalah perubahan. Maka kita melihat seorang bayi lahir ke dunia yang fana dan penuh penderitaan, melangkahkan kaki ke lembah-lembah dan bukitbukit menjalani darma dan karma, dewasa, lalu tiada. Begitulah mereka berubah. Menjalani siklus yang sedemikian singkat.

Namun keabadian, bagi makhluk fana, adalah impian yang tak henti ingin diraih. Dan bila kita menelusur khazanah masa lalu kita, kita akan mendapati betapa berlimpahnya dongeng tentang manusia yang setelah melakoni laku tertentu, lalu hidup hingga ratusan tahun, bahkan mungkin hingga kiamat tiba.

Dan itu bukan monopoli bangsa-bangsa yang tumbuh dan berperadaban di lingkar garis khatulistiwa belaka, namun memanjang hingga Eropa atau Amerika. Kita senantiasa menolak kematian, menghindari kefanaan. Maka kita mendengar ilmu-ilmu macam rawarontek, atau jamu-jamu khusus, atau mata air keabadian. Para ilmuwan mencoba menunda kematian dengan beraneka obat-obatan, dan percobaan-percobaan, seperti yang bisa kita saksikan dalam banyak adegan film sains fiksi, digalakkan demi memperpanjang usia manusia.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Alifah NH

Penerbit: MNC Publishing
ISBN: 9786026743077
Terbit: Februari 2022 , 241 Halaman










Ikhtisar

Sudah menjadi sunnah semesta bahwa yang abadi adalah ketidak-abadian, yang tidak berubah adalah perubahan. Maka kita melihat seorang bayi lahir ke dunia yang fana dan penuh penderitaan, melangkahkan kaki ke lembah-lembah dan bukitbukit menjalani darma dan karma, dewasa, lalu tiada. Begitulah mereka berubah. Menjalani siklus yang sedemikian singkat.

Namun keabadian, bagi makhluk fana, adalah impian yang tak henti ingin diraih. Dan bila kita menelusur khazanah masa lalu kita, kita akan mendapati betapa berlimpahnya dongeng tentang manusia yang setelah melakoni laku tertentu, lalu hidup hingga ratusan tahun, bahkan mungkin hingga kiamat tiba.

Dan itu bukan monopoli bangsa-bangsa yang tumbuh dan berperadaban di lingkar garis khatulistiwa belaka, namun memanjang hingga Eropa atau Amerika. Kita senantiasa menolak kematian, menghindari kefanaan. Maka kita mendengar ilmu-ilmu macam rawarontek, atau jamu-jamu khusus, atau mata air keabadian. Para ilmuwan mencoba menunda kematian dengan beraneka obat-obatan, dan percobaan-percobaan, seperti yang bisa kita saksikan dalam banyak adegan film sains fiksi, digalakkan demi memperpanjang usia manusia.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Zaman berubah. Hari ini, dunia kita adalah dunia yang dipenuhi dengan tulisan. Media sosial, sebagai ujung tombak relasi sosial – meski itu sebuah fakta yang menyedihkan, tapi bagaimapun, tak terelakkan – membanjiri kita dengan teks. Semua orang, rasanya, telah menjadi penulis hari ini. Penulis dalam artian mereka yang memproduksi teks. Dalam hari yang runyam dan riuh rendah seperti ini, masih relevankah pernyataan bahwa menulis adalah kerja untuk keabadian?

Saya kira tidak. Saya tidak menampik fakta bahwa menulis memungkinkan kita untuk menjadi abadi, tentu saja abadi dalam pengertian yang tidak harafiah. Namun tentu ada syaratsyarat yang mesti kita penuhi untuk sampai pada tahapan itu. Dan syarat itu, satu-satunya syarat untuk itu, tak lain dan tak bukan, adalah menulis dengan baik, menghasilkan tulisan yang baik.

Untuk menghasilkan tulisan yang baik itulah, atau lebih tepatnya, untuk belajar menghasilkan tulisan yang baik (meski mungkin tidak ada tendensi atau ambisi untuk menjadi abadi) sejumlah orang berkumpul selama dua hari di satu titik yang berada dalam kawasan Empunala. Mereka, bersama-sama, berdiskusi, tukar pengetahuan, saling memberi masukan, demi menghasilkan tulisan-tulisan yang setidaknya akan membekas lama dan tak kunjung sirna setelah dibaca. Waktu dua hari mungkin terlalu pendek, hanya terasa sekejapan mata belaka.

Namun selalu ada ketidak-terdugaan dalam hidup, senantiasa ada yang meleset dari perkiraan, kerap kali ada yang luput dari perhitungan awal. Dan terberkatilah kita, yang berkumpul pada hari itu, bahwa keluputan ini, ketidak terdugaan ini, kemelesetan ini, berada dalam artian yang baik. Saya mungkin bukanlah penulis yang cukup baik, namun berdasarkan pengalaman, saya tahu bukanlah kerja mudah menghasilkan cerpen (dari kondisi di mana sebelumnya tak pernah menulis cerpen) yang mengejutkan dalam waktu dua hari.

Saya membayangkan cerpen-cerpen yang dihasilkan dari kegiatan yang memang sejak awal diniatkan serta difokuskan pada perkara cerpen ini akan berkisar pada tema yang sama, dengan alur yang tak jauh berbeda, dengan konflik yang begitu-begitu saja, dan dengan akhir yang hampir serupa. Namun saya keliru. Beberapa peserta kegiatan (dalam jumlah minoritas) memang memiliki ketertarikan dalam dunia fiksi dan sudah tampak berpengalaman. Namun lebih banyak yang sebaliknya.

Kegiatan, sejauh penilaian saya, berjalan dengan sangat menarik. Interaksi berlangsung lancar. Dan saya terkejut mendapati fakta yang seperti itu. Keterkejutan itu tambah berlipat-lipat ketika hari kedua, ketika proses penulisan dan pendampingan berlangsung, saya mendapati alangkah beragamnya tema garapan yang diangkat. Sejenak saya tercenung. Saya merasa dilontarkan ke dunia antah berantah yang tidak saya mengerti.

Segera, saya merevisi asumsi awal saya. Saya yakin, buku yang bakal memuat kumpulan cerpen peserta kegiatan ini akan menjadi buku yang penting, setidaknya untuk lingkup Mojokerto. Tema-tema itu menjanjikan satu hal: sebuah cerita yang tak gampang lekang. Tema-tema itu berjalan jauh, meninggalkan Empunala semata sebagai fakta geografis di mana cerita-cerita itu ditulis. Namun, bukankah memang begitu watak imajinasi? Melampaui ruang, membumbungi waktu.

Daftar Isi

Cover
Prolog
Daftar Isi
Gaun Biru Muda untuk Bu Shinta
Hanya Tetap (Tinggal) "Aga"
Mudik
Anak Impian
Kabar Adam
Hilang
Sri Menjadi Ibu
Ganbate
Kita Adalah Orang Gila
Dalam Sepinya Elinor
Cinta Sang Primadona
Tegar
Status
Lelaki Rumahku Mr. Sohail
Akhir Petualangan Pencopet Pasar
Lia, Relia, Si Tangguh Nan Malang
Perempuan Bersiter Tua
Amanah yang Tak Terduga
Dunia ini Gelap
Rani
Nyanyian Sunyi Khidir
Indahnya Mencintaimu
Donny
Sepenuh Mirah
Asa Assasa
Kuitansi Kosong
Gila
Biodata Penulis