Percaya, enggak, Ma? Sampai sekarang rasanya kita masih harus mengenal keluarga besar. Begitu besarnya sampai kita bingung menyebutnya, misal: anak tertua dari tantenya ibu, yang ibunya masih sepupu dengan eyang X. Nah! Saking jauhnya pertalian tersebut, kita jadi bingung menentukan panggilannya. Apalagi jika usianya tidak sesuai dengan panggilannya. Contoh, secara silsilah seseorang harusnya mendapat panggilan “nenek”. Tapi karena usianya belum lagi 30 tahun, rasanya serba salah juga memanggil “nenek”, sehingga akhirnya kita sebut dengan “tante” atau “mbak”. Nah, kebingungan yang sama, dalam taraf yang berbeda, juga terjadi pada si batita. Apalagi, keluarga besar adalah konsep baru baginya.
Selama ini batita mungkin baru mengenal keluarga inti—Papa dan Mama—serta kakek dan nenek dari kedua belah pihak. Tahap berikut, melebar sedikit hingga keluarga inti mama dan papanya, yaitu kakak atau adik Mama dan Papa—beserta pasangan dan anak-anak mereka. Mengenalkan Ciri “Meskipun kesannya membingungkan, konsep keluarga besar penting bagi batita dalam rangka memahami asal-usul keberadaannya. Asal usul ini nanti akan menjadi hal penting ketika si batita mulai mencari identitas diri yang berkaitan dengan keberadaan dirinya di lingkungan keluarga,” ujar Vequentina Puspa Indah, MPsi.
Menurut psikolog yang akrab dipanggil Nina ini, hal tersebut juga akan menjawab pertanyaan terkait ciri-ciri fisiknya, ‘mengapa aku berambut keriting?’ Mama dan Papa dapat membantunya dengan menelusuri, misalnya dengan memberikan ciri, keluarga Mama yang kebanyakan berambut keriting. “Atau mengapa anak diminta memanggil Eyang pada ibunya Mama tapi memanggil Andung pada ibunya Papa? Ooh, rupanya karena Mama berasal dari suku Jawa, sedangkan Papa tumbuh di keluarga Minang,” ujar Nina mencontohkan.
