Hal-Hal yang Layak Didebat
Di suatu siang, setelah mengantar anak masuk gerbang sekolah. “Eh si Tini cerai, tuh.” ‘Yah, masa?! Kenapa? Kayaknya baru nikah kemarin, deh.’ “Enggak bilang. Tapi katanya suami si Tini, eh…mantan suami, sejak pisah rumah cuman telepon anaknya aja.” ‘Biasanya kalau gitu, berarti mantannya males, tuh, ngomong sama Tini. Jangan-jangan cerainya gara-gara si Tini, ya?’ Haish! Asumsi, tuh! Belum tentu Tini yang pasti salah. Bisa saja si mantan suami tak mau bicara karena malu atau merasa bersalah.
Kalau Sahabat NOVA baca-baca tabloid edisi ini, pasti ngeh kalau cerita di atas mirip kisah perpisahan Natalie Holscher dan Sule. Natalie yang tak mengumbar jelas alasan kandasnya pernikahan mereka membuat netizen berspekulasi dan berdebat soal siapa yang menurut mereka salah-benar dan layak dibela.
Rasanya kita sehari-hari juga banyak cepat mengambil kesimpulan. Biasanya karena kejadian yang sama sering berujung hal yang serupa. Atau karena menurut kita, logisnya 1 + 1 ya = 2. Padahal, bisa saja 3 – 1 = 2 atau 1 + 1 = 4 – 2. Penyebabnya bisa beragam. Kesimpulannya pun bisa tidak sama atau sesederhana yang pernah terjadi.
Sama seperti anggapan, Menikah sama duda dan jadi ibu tiri itu repot. Atau, Orang yang mencabuli anak kecil pasti enggak beragama. Dua hal ini dibahas dalam halaman “Anda dan Pasangan” serta “Peristiwa”. Isinya membuktikan bahwa anggapan-anggapan yang kita pikir “pasti begitu”, masih bisa didebat.
Sebab kalau tahu caranya, pernikahan bersama duda dan menjadi ibu tiri bisa, kok, membahagiakan. Orang yang kita duga beragama pun tak selamanya punya perilaku yang berke-Tuhan-an. Eh, tapi jangan semua hal lalu didebat ya, Sahabat NOVA. Bisa-bisa nanti kasusnya seperti si karyawan di halaman “Tanya Jawab Psikologi”, hehe. Semoga dengan membaca edisi minggu ini, kita semua bisa lebih bijak mengambil keputusan dan tak terburu-buru menghakimi orang.
Salam hangat, Indira Dhian Saraswaty